Carlos dan Jill duduk bersisian di atas sofa cokelat pada ruang keluarga. Jill menundukkan wajah dengan kesepuluh jari bertaut gugup, sedangkan Carlos memutar-mutar bola mata ke segala arah, menghindari tatapan ibunya.
Tepat di hadapan mereka, Barbara duduk tegak dengan kedua tangan menyilang di depan dada. Ia memandangi kedua orang itu secara bergantian.
"Jadi, tanpa sepengetahuanku, selama ini kau menyimpan seorang wanita di apartemenmu?"
Mata cokelat Barbara menghujam wajah Carlos. Lelaki itu lantas membalas tatapan ibunya dengan sebelah alis terangkat.
"Ibu, tolong jangan memikirkan hal yang tidak-tidak. Hubungan kami tidak seperti yang Ibu bayangkan," sergah Carlos. "Jillian bekerja untukku. Jadi, aku memintanya tinggal di sini. Agar dia tidak perlu repot-repot kembali ke rumahnya setiap hari."
"Bekerja untukmu?" Dahi Barbara kian berkerut.
Carlos mengangguk. "Menyiapkan makanan. Membersihkan tempat ini. Merapikan pakaianku. Semacam itu."
Kedua mata Barbara tertuju ke arah Jill. Pada celana jeans-nya yang tampak kumal dan memiliki robekan di bagian lutut. Pada kausnya yang sedikit kusut. Dan rambutnya yang kian berantakan diterpa angin dari luar.
Seakan mampu membaca pikiran ibunya, Carlos lantas berkata, "Meski begitu, dia cukup ahli dalam hal pekerjaan rumah. Masakannya juga enak. Seperti masakan Ibu."
Carlos mengedipkan sebelah mata pada Jill yang terdiam kaku di sisinya. Dan itu cukup berhasil mencairkan ketegangan di wajah wanita tersebut.
Barbara mengambil napas panjang. Sembari menempelkan punggung pada sandaran sofa, ia berkata, "Dulu, aku pernah beberapa kali menawarkanmu untuk mempekerjakan seseorang di sini. Tapi kau selalu menolak."
Carlos mendesah pelan. "Astaga, Ibu masih belum memercayaiku rupanya."
"Kau sudah terlalu banyak bersandiwara, Carl. Aku bahkan merasa heran mengapa kau tidak menjadi aktor saja."
Carlos menelan ludah.
"Aku melihat interaksi yang tidak biasa di antara kalian. Lebih dari bos dengan seorang pekerja," ucap Barbara.
Carlos mengurut pelipis. Kepalanya selalu terasa nyeri tiap kali Barbara mulai berspekulasi. Wanita kesayangannya itu memiliki terlalu banyak teori yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh Carlos sendiri.
Pelan-pelan, Barbara mengembalikan tatapan ke arah Jill. "Bisakah kau berkata jujur padaku?" tanyanya kemudian.
"Aku sudah jujur padamu, Bu."
"Diamlah, Carl. Aku tidak memintamu berbicara."
Sontak, Carlos mengatupkan bibir. Di sisinya, Jill tampak meneguk saliva. Ia berupaya membalas tatapan Barbara yang begitu mengintimidasi.
"Apakah anakku menyukaimu?" Barbara bertanya lagi. Jill sontak memandang Carlos. Namun lelaki itu hanya mendesah panjang, benar-benar lelah menghadapi tingkah ibunya.
"Karena kau tidak mampu menjawab, baiklah. Aku akan menyederhanakan pertanyaannya. Apakah kau menyukai anakku?"
🌸🌸🌸
Easter bersiap untuk tidur, namun dahaga yang menyerang tenggorokannya menggagalkan niat tersebut. Perempuan itu memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Saat ia berjalan menuju tempat tersebut, kakinya berhenti tepat di depan pintu kamar Felicia. Daunnya tampak sedikit terbuka, menampilkan celah yang menandakan si empunya kamar masih terjaga.
Dengan gerakan pelan, Easter berderap mendekat, mengintip melalui celah tersebut. Seketika, jemarinya mengepal erat. Rasa sedih merayapi benak wanita itu, menyaksikan pemandangan yang tersaji di depan mata.
Sembari duduk pada kursi belajar di sisi tempat tidur, dengan posisi tubuh membelakangi pintu, Felicia terlihat menenggak beberapa butir pil. Setelahnya, ia menangkup wajah cukup lama, lalu menjatuhkan kepala di atas meja.
Ternyata dia masih melakukannya, batin Easter.
Perempuan itu tidak kuasa menahan kejatuhan air yang menggenang di sudut mata. Waktu sudah berlalu begitu banyak, namun kesakitan masih membelenggu putrinya.
🌸🌸🌸
Carlos tidak dapat tidur dengan tenang. Sebentar ia berbaring menghadap ke kiri. Lalu berputar ke kanan. Begitu terus, namun matanya tak kunjung terpejam. Kepalanya masih dipenuhi bayangan peristiwa beberapa menit lalu, ketika Barbara menginterogasi Jill perihal hubungan mereka.
"Karena kau tidak mampu menjawab, baiklah. Aku akan menyederhanakan pertanyaannya. Apakah kau menyukai anakku?"
Jill terdiam cukup lama. Ia mengalihkan wajah pada Carlos, lalu berganti menatap Barbara. Kegugupan yang menguasai dirinya di awal mendadak hilang, entah ke mana. Lalu dengan wajah penuh keyakinan, ia menjawab pertanyaan Barbara.
"Ya, Bibi. Aku menyukai Carlos."
Jill bisa melihat kedua mata Barbara membesar. Mungkin, cukup takjub dengan keberaniannya mengucapkan sederet kalimat tersebut. Sedangkan Carlos? Oh, jangan tanya bagaimana ekspresinya. Lelaki itu nyaris terjungkal dari kursi. Ia bahkan terbatuk-batuk dengan keras, seperti orang yang tersedak minuman. Padahal, ia tidak meneguk apa pun.
Di atas ranjang, Carlos menggerak-gerakkan kedua kaki sambil mengacak rambut. Setiap kali ucapan Jill terngiang dalam benak, ia merasa ingin terjun ke bagian inti bumi.
Jill. Si bodoh itu benar-benar sudah menciptakan masalah. Hingga Carlos benar-benar ingin mengusirnya. Namun terlambat, Barbara sudah menaruh perhatian besar pada pernyataan gila Jill. Sekarang, kedua wanita itu pasti sedang berbincang dari hati ke hati, sebab mereka tidur dalam kamar yang sama.
Karena malam sudah sangat larut, sang ibu memutuskan menginap di apartemen Carlos. Dan ia sama sekali tidak keberatan berbagi kamar dengan Jill. Bukankah ini pertanda bencana sudah dimulai?
Carlos meraih ponsel dari atas nakas. Jemarinya bergerak lincah di atas layar, mengetikkan teks untuk Jill. Mereka bertukar pesan kemudian.
Katakan pada ibu kalau kau tidak serius dengan ucapanmu tadi.
Bagaimana caranya?
Jelaskan saja, Jill!
Bibi sudah tidur.
Kalau begitu, jelaskan besok pagi. Sebelum ibu pulang. Katakan kau hanya bercanda.
Mengapa aku harus berbohong?
Bukankah kau memang berbohong?
Tidak.
Jillian!!!
Apa?
Apa kau sudah gila?
Mungkin.
Astaga. Aku benar-benar ingin memakanmu.
Bagaimana kalau kita menikah saja?
Ke luar sekarang. Aku akan mendorongmu dari balkon. Kau penasaran dengan bentuk surga, bukan?
Hahaha. Kau lucu. Bibi juga lucu. Sudah dulu, okay? Aku harus tidur. Bye.
Jillian, sadarlah. Aku bisa saja mengusirmu, kau tahu?
Pesan terakhir tidak berhasil terkirim. Sepertinya, gadis itu sudah mematikan ponselnya. Carlos menjambak rambut dengan kuat, sungguh frustrasi.
Jill sama sekali tidak tahu, candaannya bisa berakibat fatal.
🌸🌸🌸
Kalo ngga ada halangan, aku update secepatnya yaa gaes.
Bisa malam ini, bisa juga besok.
Tergantung antusiasme kalian :pEh iya, ada yang main di platform storial, btw?
Follow akun @friscamarth donggg..
Kalian bisa baca karyaku juga lho, di sana! ^^

KAMU SEDANG MEMBACA
My Beautiful Rose
RomanceFelicia Roselyn Adams memiliki seluruh kriteria wanita idaman Carlos Spencer. Bak sekuntum mawar putih, Felicia cantik, anggun dan elegan. Pembawaannya yang kalem dan misterius sungguh menarik hati Carlos. Hingga lelaki itu berusaha mengerahkan sege...