BAB 15

2.1K 373 186
                                    

Keesokan paginya, pemandangan pertama yang didapati Carlos begitu menjejakkan kaki di lantai dapur adalah; Barbara tengah memasak bersama Jill. Kedua wanita itu terlihat asyik mengobrol sembari mencicipi hasil olahan tangan mereka. Sesekali, Carlos mendengar tawa. Sepertinya malam tadi mereka membicarakan cukup banyak hal.

Oh, astaga. Bencana benar-benar sudah dimulai.

"Carl? Kemarilah." Barbara lebih dulu menyadari kehadiran Carlos. Wajahnya tampak berseri saat memanggil putranya mendekat.

Dengan bahu melorot sempurna, Carl menghampiri kedua orang tersebut. Sejenak ia melemparkan lirikan tajam pada Jill. Namun perempuan itu melengos saja, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Carl, ternyata kau benar. Jill pintar memasak. Kami bahkan memiliki takaran bumbu yang sama. Mungkin, itu sebabnya kau merasa masakannya mirip dengan olahan tanganku."

Barbara berbicara dengan nada senang, layaknya anak kecil yang berbahagia menemukan seorang teman baru. Mendengarnya, Carlos menarik napas panjang. Lalu mengembuskannya dari mulut dengan amat pelan.

Kau harus bersabar, Carl.

"Duduklah." Barbara menuntun Carlos untuk menjatuhkan diri di atas kursi. Sembari mengambil posisi di samping anaknya, ia meletakkan piring berisi sepotong quiche di hadapan Carlos. "Wah, setelah kuperhatikan, sekarang tubuhmu terlihat lebih segar dan berisi. Sepertinya, Jill memang mengurusmu dengan baik, eum?"

"Ibu, Jill baru bekerja beberapa hari." Carlos berkata sebal.

"Tapi, kalian sudah saling mengenal untuk waktu yang cukup lama, bukan? Jill sudah bercerita padaku."

Lagi, Carlos menatap tajam pada Jill. Perempuan itu hanya menunduk sembari menuangkan kopi ke dalam dua cangkir. Satu ia berikan pada Barbara, satu lagi diletakkannya di sisi piring Carlos.

"Jill, duduklah. Kita sarapan bersama," ucap Barbara kemudian. Jill menggeleng pelan.

"Segelas susu sudah cukup untukku, Bi. Aku tidak terbiasa makan di pagi hari. Bibi dan Carlos makanlah, aku pamit ke lantai atas sebentar."

"Oh, begitu." Barbara mengangguk-angguk mengerti. "Baiklah, silakan," katanya seraya tersenyum. Kedua matanya mengikuti tubuh Jill yang bergerak menjauh. Lantas, kepada Carlos ia berkata, "Ibu benar-benar bahagia. Sekarang, kau pasti tidak merasa kesepian lagi."

Carlos mendengkus. "Ibu berkata begitu seolah kami sudah menikah," sungut lelaki itu. Ia meraih cangkir kopi dari atas meja, lalu menyeruputnya pelan.

"Jika kalian mau, kita bisa mengurus pernikahan secepat mungkin."

Pernyataan Barbara sukses membuat Carlos syok. Lelaki itu nyaris memuncratkan cairan hitam di mulut.

"Minumlah dengan pelan, Carl."

"Aku sudah minum dengan sangat pelan. Ibu yang menyebabkanku seperti ini." Carlos mengambil tisu dan menyeka bibir. "Pernikahan? Ibu ingin aku menikah dengan Jill? Yang benar saja."

"Memangnya, apa yang salah dengan Jill? Dia pintar memasak dan merapikan rumah."

"Ibu, aku akan menikah karena aku memang menginginkannya. Persetan pasanganku pintar memasak atau tidak. Jika hanya sekadar pekerjaan rumah tangga, aku bisa membayar orang lain untuk melakukan itu."

"Tapi ... aku menyukainya, Carl. Sepertinya Jill berbeda dengan gadis-gadis lain. Dia sangat sederhana. Kau hanya perlu memolesnya sedikit saja. Aku yakin, sesungguhnya Jill gadis yang cantik."

Carlos mengembuskan napas panjang. Ini sebabnya ia tidak berharap Jill bertemu dengan Barbara. Inilah alasan utama, ia menganggap pertemuan kedua wanita itu adalah bencana.

My Beautiful RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang