BAB 16

2.6K 441 207
                                    

Ibu, aku tidak bisa. Aku sudah memiliki janji sepulang kantor nanti.

Usai mengetikkan deretan kalimat tersebut, Carlos memilih opsi send. Ia meletakkan gawai di atas meja, lantas kembali memusatkan pandangan pada komputer di hadapannya. Hanya berselang dua menit kemudian, pesan balasan datang.

Apakah janji itu lebih penting dibanding wanita yang melahirkanmu?

Carlos mendengkus. Kini ia mengerti dari mana sifat dramatisnya berasal. Baru saja jemarinya hendak mengetik balasan, ibunya kembali mengirim pesan.

Aku harus pulang besok. Jadi, tidak ada alasan apa pun untuk hari ini.

Carlos mendesah panjang. Sepertinya, ia memang tidak memiliki pilihan.

🌸🌸🌸

"Oh, Carl? Kau sudah pulang."

Sebuah sapaan terdengar di ambang pintu dapur, tepat saat Carlos tengah menenggak sebotol air mineral. Begitu jam operasional kantor berakhir, ia memutuskan segera pulang dan membatalkan janji bersama Felicia. Dan sesampainya di apartemen, lelaki itu segera berjalan menuju lemari es demi menuntaskan dahaga yang menyiksa.

Carlos tidak menjawab, sebab ia tahu itu suara Jill. Hatinya masih menyimpan kesal pada gadis itu.

Tiba-tiba saja, Jill berjalan ke sisi Carlos. Dengan santai ia mengambil sebatang cokelat dari kulkas, membuat Carlos mau tak mau menoleh padanya. Kedua mata lelaki itu sontak melebar. Dari balik botol yang masih menempel di mulut, pandangannya terkunci pada Jill.

Kalau saja Carlos tidak menghapal bentuk wajah Jill, ia pasti akan mengira apartemennya kedatangan seorang tamu. Demi apa pun, gadis itu terlihat sangat berbeda.

Jill yang Carlos kenal sehari-hari adalah perempuan berpenampilan kumal. Jarang menyisir rambut, tidak pernah merias wajah. Ia senang mengenakan kaus longgar dan celana jeans dengan robekan di bagian lutut. Jauh dari kata elegan, gadis itu sangat berantakan.

Namun, hari ini, Carlos seakan menemukan Jill dalam tubuh orang lain. Rambutnya yang dahulu bergelombang tidak terawat, kini lurus dan rapi. Kulit wajahnya terlihat lebih segar. Bibirnya yang biasa tampak pucat, hari ini tampak cerah oleh sentuhan lipstick berwarna peach. Oh, jangan lupakan dress selutut dan sweater cokelat yang membalut tubuh semampainya.

Tanpa sadar, Carlos meneguk ludah. Entah mengapa, hari ini ia menyadari sesuatu.

Bahwa Jill memang pantas disebut wanita.

Carlos masih memandangi Jill dalam diam. Ketika gadis itu berlalu dari hadapannya—dan menjatuhkan diri pada salah satu kursi di meja makan—barulah ia pelan-pelan menurunkan botol di tangan. Memandang Jill dari belakang, seketika menyadarkan Carlos. Bahwa sosok dalam foto yang dikirimkan Barbara siang tadi adalah gadis itu.

"Kau menatap Jill seakan-akan dia bidadari yang baru saja turun dari langit."

Tiba-tiba, Barbara terdengar berkomentar. Entah sejak kapan, wanita itu sudah berdiri di ambang pintu. Ia berjalan memasuki dapur, mengambil posisi di meja makan, tepat di seberang Jill.

"Jill sangat cantik, bukan?"

Mendapati senyum jail di wajah sang ibu, Carlos mendengkus. "Tidak sama sekali," ketusnya. Ia menutup pintu lemari es dengan sedikit menyentak.

"Mulutmu bisa berbohong, tapi tatapanmu tidak, Carl," kata Barbara lagi. Lalu, ia dan Jill tertawa bersamaan. Membuat wajah Carlos tampak kian masam. Lelaki itu lantas berjalan mendekati Jill, berdiri di sampingnya dengan tangan terlipat di dada.

My Beautiful RoseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang