Tiga minggu semenjak kejadian itu, banyak hal yang telah berubah. Terutama Dia. Seolah ada dinding pembatas di antara kami yang membuat kami sama-sama diam dan enggan melakukan pembicaraan. Dia tidak lagi menyentuhku. Diamnya lebih menyakitkan ketimbang umpatan-umpatannya yang kelewat kasar. Baka-senpai yang rewel jauh lebih baik daripada dia yang bersikap kasar dan dingin seperti ini.
"Senpai, ohayou~!" Sapaku kepada Bakugo yang baru saja keluar dari kamar mandi. Enggan meresponku, ia melewatiku begitu saja.
"Hei, lihatlah... aku memasak! Aku membuat nasi goreng," Masih belum menyerah, aku kembali berseru namun kembali mendapat respon yang sama. Bakugo tidak mengindahkan perkataanku. Ia terus berjalan keluar. Membuka pintu.
Mendengar suara pintu terbuka aku segera berlari menyusul dengan spatula di tangan kanan, "Senpai, aku sarankan kau mencoba masakanku. Tidak ada yang terbakar di sini. Ne..?" Sial. Aku mengatakan kalimat itu seolah memohon dengan wajah datar ini.
Bakugo terdiam. Tangannya yang baru saja membuka pintu kembali menutupnya. Lantas duduk di meja makan. Tanpa kusadari aku mengulum sebuah senyuman. Sedikit senang karena setelah berminggu-minggu akhirnya kami bisa makan bersama. Ya, berminggu-minggu. Itu adalah porsi yang dibutuhkan seorang Katsuki untuk marah. Ah, aku menyebut namanya.
"Ittadakimasu," Bakugo mulai memasukkan satu suapan ke mulutnya. Ia terdiam sejenak. Kedua alis menukik ke dalam. Menampilkan sebuah ekspresi yang tidak bisa ku artikan.
"A-apa tidak enak?"
"...,"
Bakugo tidak menjawab. Lanjut mengunyah dengan cepat hingga tersisa setengah dari porsi yang kuhidangkan.
Dia menyukainya?! Yokatta.. dengan begini kerja kerasku tidak sia-sia. Ternyata aku memang jenius dalam semua-
Ujung Lidahku tergigit saat aku mulai memakan masakanku sendiri. Ini... buruk! Menjijikan! Spontan aku melepehkan apa yang ada di dalam mulutku dan langsung menenggak segelas air.
Rasa Manis bercampur dengan nasi dan minyak. Tidak ada rasa asin sama sekali! Kalau diingat-ingat, Kurasa aku telah menambahkan garam. Tidak! Jangan-jangan, aku salah memasukkan bumbu. Garamnya tertukar dengan gula pasir. Bagaimana ini? Rasanya tidak karuan.
Sial! Salahkan penemu garam dan gula yang membuat dua bumbu itu terlihat mirip!
Meski begitu Bakugo dengan santai menandaskan hidangan menjijikan itu. Seolah tidak merasakan keganjilan sedikitpun. Aku bergidik ngeri melihat itu. Apa indera pengecapnya telah rusak?! Setidaknya beri aku masukkan atau saran. Atau.. berikan sedikit pujian atas kerja kerasku.
"Sampai kapan kau akan terus-terusan bersikap seperti ini. Ini sudah tiga minggu! Siapa yang kekanak-kanakan sekarang?!" Aku bertanya setelah Bakugo bangkit di susul aku yang menarik tubuhku untuk berdiri dan berjalan mengikutinya dari belakang.
"Hah? Apa maksudmu?" Tanyanya balik tanpa menoleh ke arahku. Raut wajahnya tidak menandakan bahwa ia marah namun kedua tangan yang mengepal semakin kuat cukup menjadi bukti bahwa ia tengah menahan emosinya untuk tidak meledak.
"Setidaknya, beritahu aku alasan kenapa kau marah? Aku tidak melakukan apapun yang mengusik ataupun merugikanmu, jadi beri aku alasan yang masuk akal!" Sembari memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, tanganku bergerak untuk meraih jemarinya. Menahannya untuk tidak pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scum
FanfictionSejak kapan, segalanya terasa begitu manis layaknya setoples manisan yang tak pernah kosong. Terus bertambah dan bertambah, hingga rasa manis itu berubah menjadi pahit. Ini kah yang di sebut cinta, atau sekedar hasrat untuk saling memenuhi? Jangan p...