"Jika membenci adalah satu-satunya cara agar aku bisa melupakanmu, maka akan aku lakukan,"
.
.
.
Melewati jalanan sepi ditemani cahaya bulan dan lampu jalanan sebagai alat penerangan. Kayuhan pada pedal sepeda bertambah semakin cepat seiring waktu yang terus berjalan melahap harapanku.
"Sial. Aku telat dua puluh menit, semoga dia masih di sana!" Doaku berharap Kalau Bakugo masih mau menungguku di taman. Seperti yang kutulis di atas kertas putih yang kutinggalkan di atas nakas.
Untuk manusia dengan intensitas kesabaran yang sangat tipis seperti Bakugo, mustahil mau menunggu puluhan menit hanya untuk orang sepertiku.
Setelah sampai di tempat yang menjadi tujuanku, jemariku reflek menarik rem. Roda sepeda berhenti berputar. Aku segera berlari menuju pemuda pirang yang terduduk di atas ayunan.
"Yo,"
Merasa ada yang memanggil, pemuda pirang mendongak. Belasan perempatan imajiner telah memenuhi kepalanya. "Teme! Dari mana saja kau!! Pantatku pegal disuruh menunggu selama 3600 detik di atas mainan bodoh ini!!!" Ah, sudah kuduga ini akan terjadi. Lebih baik diam dan menutup telinga daripada harus meladeni sikap keras kepala dan arogannya itu. 3600 detik itu, artinya satu jam.
"Salah sendiri datang 40 menit lebih awal, sepertinya kau sangat merindukanku, ya?" Ledekku selagi mendudukkan pantat di atas ayunan di sisi Bakugo.
"Enak saja! Jangan berdusta berlebihan seperti itu! Kata-katamu membuatku ingin muntah!!"
Aku menghela napas panjang, "Aku sedang tidak ingin bertengkar. Bisa hilangkan sebentar sifat kekanak-kanakanmu, senpai?"
"Siapa yang kekanak-kanakan!! Kau menghinaku?! Dasar setengah-setengah!" Dia menghinaku dengan wajah panas yang kian memerah. Membuatku ingin lebih meledek dan menggodanya. Ah, senpaiku yang manis. Kalau saja aku bukan seorang omega, mungkin kau telah kacau dalam kehendakku. Dasar keparat author yang seenak dengkul menukar status seme dan uke!!
"Aku telah menceritakan semuanya kepada ayahku. Keputusan akhir, setelah lulus tahun keduaku ayah akan memasukkanku ke sekolah asrama khusus omega."
"...,"
Bakugo menutup mulutnya. Matanya mengerjap beberapa kali. Detik berikutnya terbuka namun segera mengatup lagi. "Kau juga harus kembali ke rumahmu, senpai. Selain itu kau harus memilih universitas—
"Arrgghh, sudah cukup basa-basinya. Kau cuma ingin bilang tidak bisa menemuiku lagi, kan?!"
"Ya,"
"Jadi, kesepakatan kita batal?"
"Begitulah."
Ada jeda sebentar. Bakugo terlihat berpikir. Mungkin ia terkejut dengan keputusanku. Well, dia berusaha menutupi kata hatinya sendiri.
Pemuda pirang mendengus kesal, "Terserah kau saja," Nada suaranya merendah. Respon yang tak kuduga. Ini di luar prekdisiku. Aku mengira dia akan marah-marah dan berteriak; 'Pergilah kemanapun kau mau! Aku tidak peduli, dasar Setengah-setengah!! Jangan kembali lagi atau kubunuh kau!!'
KAMU SEDANG MEMBACA
Scum
FanfictionSejak kapan, segalanya terasa begitu manis layaknya setoples manisan yang tak pernah kosong. Terus bertambah dan bertambah, hingga rasa manis itu berubah menjadi pahit. Ini kah yang di sebut cinta, atau sekedar hasrat untuk saling memenuhi? Jangan p...