IX

26 11 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Merasa tidak percaya diri dengan gaya rambut pendek, Freqiele lebih suka memakai penutup kepala, apa pun bentuknya. Dia pakai helm konstruksi berwarna putih khusus mandor serta sepatu bot selutut berwarna hitam. Pakaian yang Xylo pinjamkan terlihat kebesaran di tubuh kurusnya.

Freqiele berdeham sekali lagi, menatap cermin tua dengan kedua tangan berkacak pinggang. "Oh, betapa jantannya aku." Dia terkikik geli, menertawakan aksi barusan.

Melangkah keluar dari rumah kayu, dia berjalan ke pusat konstruksi. Pasti orang-orang sudah menunggu dirinya untuk mendapat jatah gaji. Sampai di area kerja, Freqiele bisa lihat puluhan orang berperawakan besar sudah mengantre di depan tenda.

"Freq, cepat! Seharusnya sudah sejak tadi kami berlibur sebelum besok kembali bekerja."

Siapa lagi kalau bukan Tar si Tukang Protes? Freqiele masuk dalam tenda dengan sangsi. Dia tidak tahu bagaimana caranya membagi upah untuk pekerja. Math menyambut Freqiele dengan senyum lebar. Sepertinya pria itu tahu bahwa dia butuh bantuan.

"Tenang saja, Freq, semua sudah kuhitung dan dibagi sesuai ketentuan. Kamu hanya perlu menyerahkannya pada mereka," ujarnya ramah.

"Apa Tuan Xylo juga melakukan pekerjaan seperti ini?" tanya Freqiele pelan, takut-takut jika sampai Tar yang menekuk wajahnya di depan sana mendengar pertanyaan bodoh itu.

Math mengusap-usap janggut lebatnya. "Dia pemuda yang teratur dan tegas. Namun, tidak punya waktu sebanyak itu. Seringkali hanya singgah satu atau dua hari, memastikan semua berjalan lancar."

Kepala Freqiele terangguk-angguk pelan. Tuannya memang luar biasa. Kaya raya, terkenal, pekerja keras, tegas, dan tampan. Eh? Astaga, lancang sekali pikirannya.

"Nah, di sini sudah ada catatannya." Math berujar sembari menunjuk sebuah buku tebal dengan tumpukan amplop di sebelahnya. "Kamu hanya perlu memberikan mereka amplop sesuai nama. Mengerti tidak?"

"Aku mengerti. Terima kasih banyak, Opa Math."

Setelahnya, Math membuka pintu tenda, lalu Freqiele mulai memanggil nama mereka satu per satu. Tidak lama dan tanpa perlu basa-basi, para pekerja sudah menantikan liburan mereka di rumah. Errr, dengan arak, wanita, dan judi tentunya.

Dua jam dilalui dengan hati gundah. Tadi ada pria yang gilanya mencolek singkat pipi Freqiele, membuat gadis itu seketika bergidik. "Sayang sekali kamu lelaki, kalau wanita pasti sudah kuhamili. Suaramu merdu sekali."

Lagi-lagi bulu kuduk Freqiele berdiri mengingat hal tersebut. Menjijikkan. Bagaimana kalau penyamarannya terbongkar? Astaga, jangan sampai!

Gadis itu menghela napas lega ketika tugasnya sudah selesai. Dia bisa bersantai sejenak sebelum besok kembali mengawasi puluhan pekerja. Freqiele memutuskan untuk mengunjungi Aresh, sekadar mencari teman bicara.

Entah sebab apa di pemukiman pekerja batu bara belum dilalui jalur kereta kuda. Freqiele harus berjalan sekitar dua puluh menit sebelum sampai di tempat pemberhentian delman.

Hari kerja begini, bukannya tenang, perumahan yang ditinggali Freqiele justru ramai. Halaman depan terlihat penuh oleh beberapa pasangan yang melakukan hubungan intim. Sial, memalukan sekali. Mereka berlomba siapa yang membuat banyak bekas luka di pantat istri masing-masing.

Para wanita telanjang dengan mulut terkunci rapat. Mereka sudah terlatih tidak menyuarakan aspirasi maupun rintihan penuh derita. Gendang telinga Freqiele hanya mendengar suara berat laki-laki. Kelembutan perempuan lenyap.

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang