XIV

28 11 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Tidak genap empat hari lagi, Freqiele menghabiskan jatah misinya. Waswas di dalam hati kalau nanti dia tidak mampu menyelesaikan misi di negeri ini. Akan tetapi, Freqiele menyisipkan keoptimisan di tengah pikiran-pikiran buruknya. Satu hari di Famquite menurutnya sangat panjang. Dia akan berusaha lebih keras dan lebih cepat untuk segera mendapatkan peta tersebut.

Ini sudah malam, tetapi Freqiele belum juga kembali dari ruang bawah tanah milik Aresh. Hati, telinga, dan pikirannya masih belum bisa menerima dengan apa yang dia saksikan tadi siang. Sekarang, dia duduk di luar basemen---bawah pohon---sembari menyaksikan beberapa bintang yang tampak malam ini.

Sebenarnya ini belum larut malam, tetapi kenapa Aresh tak kunjung pulang? Bukankah itu bahaya untuk gadis satu-satunya di negeri ini? Bak semut yang tiba-tiba menyerbu ke arah permen yang terbuka, begitulah pikiran buruk silih berdatangan di kepala Freqiele.

"Aresh pasti bisa menjaga diri," gumamnya.

Dia menyesap kopi yang tadi dihidangkan Cello. Oh iya, mungkin ada pertanyaan tentang di mana keberadaan lelaki itu. Dia ada di dalam basemen. Sebenarnya, Cello ingin menemani Freqiele di luar, tetapi Freqiele malah memarahinya. Takut-takut nanti kalau Cello tertangkap keberadaannya oleh penduduk setempat.

Pohon markisa yang ada di sebelah Freqiele tampak berbuah. Meski tanah di sini sedikit kering, tetapi sepertinya Tuhan memberi kelonggaran kepada Cello, sebab ada sebuah pohon yang tumbuh subur. Freqiele mendongak, menghitung ada berapa banyak markisa yang hampir masak.

Namun, di sela-sela suara hati Freqiele yang tengah menghitung buah itu, dia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Benar saja, ketika dia menoleh, ada Cello berdiri dengan tangan kanan yang disembunyikan di belakang.

Freqiele menatap kesal lelaki itu. "Kenapa ke sini? Bukannya aku menyuruhmu untuk tidak keluar?" tanyanya.

Cello melangkah maju. Dia berdiri di samping Freqiele yang terduduk. "Sepertinya bukan masalah untukmu, Nona," jawabnya dengan nada menyebalkan.

Freqiele berdiri. "Hei, bukan masalah bagaimana? Kalau kamu ketahuan oleh penduduk di sini, siapa yang membantuku mendapatkan peta itu, Cello?!" Ingin rasanya menonjok wajah lelaki tengil itu, tetapi agaknya berlebihan.

"Justru suaramu yang melengking itu bisa mengundang perhatian orang-orang. Apa mau kubekap mulutmu dengan bibirku?" Dalam kondisi seperti ini, Cello masih sempat-sempatnya menggoda Freqiele yang terlampau kesal.

Hampir saja Freqiele memukulkan tongkatnya ke kaki Cello. Akan tetapi, tidak jadi karena tiba-tiba tangan kiri Cello menarik tangan Freqiele untuk duduk di atas batu yang tadi ditempati Freqiele. Dia cepat-cepat melepaskan tangan Cello. Dia tidak mau terlalu lama membaca pikiran lelaki itu.

"Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu," celetuk Cello.

"Apa itu? Cepat tanyakan, tanpa harus diawali perdebatan."

Lelaki berkepala dua itu terkekeh. "Manis sekali dirimu jika seperti ini. Oke, aku tidak akan memulainya." Dia tidak melanjutkan ucapannya, ketika Freqiele melayangkan tatapan tajam. "Nona, apakah di rumahmu ada jam?"

"Tidak. Rumah itu mana mungkin ada peralatan yang lengkap," jawab Freqiele, "kenapa?"

"Lantas, bagaimana selama beberapa hari ini kamu memperkirakan waktu?" Menyebalkan, kenapa lelaki itu terus bertanya? Kenapa tidak langsung saja dia ingin berbuat apa? Sabar, Freqiele berusaha menenangkan dirinya. Seharian ini hati dan pikirannya sedang tidak tenang.

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang