VIII

39 11 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Freqiele mengelap wajah. Entah berapa lama dia berada di daerah gersang tadi, yang jelas mukanya terasa tebal. Kaki diselonjorkan dan ditempeli daun-daun yang diberi oleh Math, katanya ampuh untuk menghilangkan lebam. Setelah itu, dia melangkah ke ranjang dan rebah, menatap langit-langit kamar dengan satu lampu berwarna jingga di tengahnya.

Satu senyum terbentuk di bibir mungil Freqiele, dia memejamkan mata sebelum akhirnya satu kalimat keluar. "Terima kasih hari ini, Tuhan."

Sementara saat itu, dalam kapal yang tengah terombang-ambing di tengah laut, seorang gadis menduduki kursi geladak, membuat rambut panjang terkibas angin. Dipangkunya dagu di lutut, seolah memberi sinyal pada dunia, bahwa dia sedang tidak baik-baik saja.

Ramai debur ombak menabrak kulit kapal, ditambah wangi khas laut yang memabukkan membuatnya terlaut dalam pikiran. Entah harus melewati berapa purnama lagi supaya dia bisa melupakan sisa-sisa memori buruknya.

Jocelyn menghela napas, sebelum seseorang menepuk pundahknya. "Joce, kamu tidak mau makan?" tanya si gaun kuning, siapa lagi jika bukan Trapesium?

Jocelyn bangkit dan menepuk gaun hitam yang dipakai. "Kamu," panggilnya dengan tatapan tajam tertuju pada Trapesium.

"Apa?"

"Aku curiga otakmu benar-benar berbentuk trapesium. Bisa lihat kalau aku sedang tidak ingin diganggu?"

Trapesium bergidik ngeri, dia memilih menjauhi Jocelyn karena gadis itu terlihat seperti monster, ditambah mulut pedas dan omelan mengerikannya itu. "Apa salahnya mengingatkan untuk makan?" gerutu Trapesium yang langsung mendapat lemparan jerigen penampung air kosong.

Trapesium menoleh sembari memegangi kepalanya yang terasa sedikit sakit. Si Hitam mengerikan itu tengah bercacak pinggang dengan wajah penuh amarah. "Hei, Otak Trapesium, aku dengar ocehanmu, ya. Jangan membuatku--"

"Hahaha!" Semburan tawa lantang membuat Jocelyn menghentikan ucapannya, dia menatap sudut kanan geladak yang gelap. Di sana, Xylo berdiri sembari memegangi perut, membuat Jocelyn sekaligus Trapesium mengernyit tidak mengerti.

Saat tawa satu-satunya lelaki di sana perlahan terhenti, dia berkata, "Astaga, pantas kamu bodoh, otakmu saja bentuknya trapesium. Ternyata nama setiap orang memang memiliki filosofi masing-masing," ujar Xylo sebelum dia kembali terbahak sampai duduk di lantai kapal.

Jocelyn terkekeh, kemudian menyampingkan posisinya, dan menatap balik Xylo. "Benarkah? Aku harus mendapat penghargaan karena sudah memberikan julukan itu padanya."

Xylo mengangguk. "Penghargaan apa, ya?"

Jocelyn tersenyum sejenak, sebelum akhirnya dia mengatakan sesuatu yang membuat mata Xylo nyaris keluar. Di tempat Trapesium sekarang, dia duduk di sebelah Zealire yang tengah memakan mentimun. Wajah kesal itu cukup membuat teman satu kabinnya risi.

Trapesium melipat kedua tangan di depan dada, lalu menyerocos, "Memangnya otakku trapesium? Mana mungkin ada orang yang memiliki bentuk otak seperti itu, 'kan?!"

Zealire mengerjapkan mata beberapa kali, sebelum akhirnya angkat suara. "Mungkin karena namamu?"

"Kenapa dengan namaku?!" teriak Trapesium yang membuat Zelire sampai harus menutup sebelah telinganya.

Gadis bergaun putih itu menyingkap rambutnya ke samping. "Nama itu biasanya punya peran penting untuk pemiliknya." Yang dijelaskan hanya memasang tampang bingung, cukup jelas untuk Zealire mengerti itu. "Misal Jocelyn, artinya penuh keyakinan, ceria, dan ekspresif," lanjutnya yang akhirnya diangguki paham oleh Trapesium.

"Namun, aku tidak melihat bahwa Jocelyn ceria? Kalau ekspresif iya, dia selalu marah, marah, dan marah." Trapesium mencibir, tangannya tak lagi bersedekap dada.

"Bisa saja dulu Joce ceria atau mungkin yang satu itu tidak dikabulkan."

"Maksudnya?"

"Tidak usah dipikirkan, Esi." Trapesium mengangguk patuh, diliriknya sekali lagi Zealire yang menggigit timun dengan tatapan kosong. Dengan ragu, dia menyenggol tubuh gadis seputih porselen itu sampai oleng.

Tatapan bertanya diarahkan dari Zealire ke Trapesium, membuat gadis itu tampak berpikir beberapa saat. "Kalau namamu, apa artinya, Ze?"

Zealire diam sebentar, sebelum akhirnya menggigit timun di tangan lagi. Sembari mengunyah, dia berkata, "Tidak ada."

***

Freqiele membuka mata dan langsung berdiri dengan kepala yang masih pusing. Digeledahnya tas pemberian Xylo dengan panik. Saat jam saku bermotif elang itu berada dalam genggaman, Freqiele menghela napas lega.

Dia mendekatkan jam itu ke dadanya. Kemudian membuka dengan hati-hati. Pukul dua dini hari, waktu yang tepat untuk pergi mencari letak peta negara kedua. Makin cepat dia temukan, kian lekas pula kepulangannya. Bahkan, kapal uap itu seribu kali lebih baik ketimbang di sini.

Tangan Freqiele kembali merogoh isi tas, lalu membuka peta yang digambarkan Zealire untuknya. "Sekarang aku ada di area batu bara, berarti ke arah selatan ... eh, ke barat daya, ya?"

Baru sebentar menatap lembar penuh garis lekuk sudah membuat Freqiele mejambak rambutnya frustasi. Bagaimana sekarang ini? Dia tidak tahu daerah sini, terlalu berbahaya jika keluar malam-malam dengan mata buta wilayah.

"Kalau minta bantuan Aresh ... dia adalah anak countess, apa tidak bahaya?" tanya Freqiele pada dirinya sendiri. Ia terus saja berkutat dengan kepala. "Satu-satunya yang bisa dimintai tolong hanya si Mesum itu."

Freqiele kembali merebahkan diri, dia tarik napas dalam dan mengembuskannya. Tangan kanan dipakai untuk menggenggam jam saku, yang kiri dibiarkan merentang ke atas. "Aku lelah sekali, malam ini tidur dulu saja," gumamnya sebelum kembali ke dunia mimpi.

***

Tok ... tok ....

Iris hijaunya terbuka sempurna saat sadar bahwa matahari sudah menerobos jendela kayu rumah pinjamannya. Dia segera bangkit dan memakai baju yang sudah diatur oleh Xylo.

"Utusan Xylo! Cepat bangun!" Tar, orang tua mengerikan itu suaranya kencang sekali. Membuat Freqiele panik.

Setelah rapi, dia berdeham sebentar. Lalu, berjalan membukakan pintu. Tar dengan tampang marahnya bercacak pinggang. "Ini sudah saatnya kita mendapat hasil, kamu malah enak-enakan tidur?"

Freqiele menggaruk bagian belakang kepala. "Maaf, aku akan segera ke sana setelah mengambil beberapa barang," ucapnya sembari merunduk.

Tar pergi, tanpa mengucap apa pun lagi, saat menutup pintu, tawa Freqiele pecah. "Astaga, pasti sekarang dia sedang marah-marah."

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regard:
Erina_rahda
jurnalharapan
maeskapisme
maylinss_
Nitasw213
nurullhr
Salsarcsp

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang