Selamat datang, selamat membaca.
***
Sore ini, Freqiele bersiap-siap untuk pergi ke rumah Aresh. Setengah hari dia habiskan melakukan hal yang tidak berguna, sekadar menjadi mandor para buruh di pertambangan batu bara. Lelah tubuh dia rasakan karena harus berkeliling di bawah terik matahari, belum lagi perjalanan dari rumah kecilnya ke pertambangan yang terasa sangat jauh. Otak letih berpikir dua hal, tentunya mengenai peta negara kedua dan cara memerdekakan perempuan di Famquite.
"Aku harus bergegas menemui si Mesum itu."
Setelah membersihkan tubuh dan berdandan maskulin, Freqiele langsung meninggalkan kediamannya. Bercermin dan memuji penampilan yang sudah menjadi kebiasaan rutin pun dia tinggalkan. Gadis itu melangkah cepat. Tiga hari lagi Freqiele akan meninggalkan tempat biadab ini---jika tidak terlambat ke dermaga.
"Hai, Freq!"
Freqiele tersenyum pada Aresh. Akibat sibuk berpikir, dia tidak menyadari telah sampai di rumah Countess Abraham. "Hai, Aresh!" Gadis itu berbisik, "Apa Cello ada di kandangnya?"
Aresh tertawa anggun. Ditambah dengan gaun biru sederhana yang terkesan mewah, dia terlihat mirip seorang putri di dongeng anak majikan Freqiele dulu, sebelum dia dibeli oleh Xylo. "Kurasa kalian sangat dekat sampai kamu datang pun hanya untuk melihatnya. Apa aku tidak ingin kamu temui, Freq?"
Senyuman anak countess itu membuat Freqiele meradang. Bisa saja Aresh menaruh curiga kalau dirinya menyukai Cello. Tidak akan pernah terjadi! "Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padanya. Tentu saja aku juga ingin menemuimu, Aresh. Aku senang bisa berteman denganmu."
Kali ini Aresh tersenyum. Dia merangkul pundak Freq. Menepuknya pelan. "Jangan merasa tidak enak seperti itu. Sebenarnya, Cello baru saja mengusirku dari sana."
"Kenapa dia mengusirmu? Dasar orang itu!" Freqiele bersungut-sungut. Dia jadi berpikir kalau-kalau Cello membohonginya mengenai keberadaan peta negara kedua. Mungkin saja pemuda itu hanya bersandiwara perihal pengakuan mengetahui keberadaan barang yang menjadi alasan Xylo mengutusnya.
Aresh mengangkat bahu. "Tidak tahu. Dia hanya bilang ingin mencari dalamannya yang hilang." Gadis bergaun mewah itu bergidik. Wajahnya jadi terlihat lucu. "Itu sebabnya aku segera angkat kaki dari sana."
"Dia pasti tidak memakainya dengan benar," tebak Freqiele yang semakin membuat Aresh merinding.
"Sudah, Freq. Jangan membicarakan hal seperti itu. Kamu tidak akan bisa ke sana, Cello mengunci pintu masuk ke basemen." Mendengar pernyataan Aresh, Freqiele menghela napas kecewa.
"Sepertinya ada beberapa markisa yang sudah masak. Mau petik?"
Jika pikirannya tidak sedang kacau, Freqiele pasti dapat merasakan pupil matanya membesar karena bersemangat. Dia memaksakan senyum saat melihat pohon markisa yang tampak lebih indah di bawah rona jingga mentari. Benar kata Aresh. Beberapa buah terlihat mengilap keunguan. Markisa itu mirip lampu warna-warni yang menggantung di pohon natal.
"Ayo! Sepertinya segar memakan markisa di sore hari. Kebetulan aku belum mengisi perut setelah pulang dari bekerja."
Aresh menatapnya sangsi. "Kenapa tidak bilang sejak tadi?" Gadis itu berlari kecil ke arah dapur.
Freqiele terkekeh. Mana bisa dia membiarkan saudara keempatnya itu tak bebas di Famquite. Dilihat dari seberapa pedulinya Aresh padanya, Freqiele yakin perempuan itu adalah orang yang baik. Andai saja Countess Abraham memiliki sedikit hati nurani jauh di dalam dirinya.
Dia menggeleng saat pikiran untuk berbincang dengan kepala negara biadab ini. Ah, pikiran konyol. Mana mau pria tua pemabuk itu mendengar aspirasinya.
***
"Eh, ada Tuan Freq!" seru Cello, berpura-pura kaget.
Freqiele sudah meradang melihat senyum sok polos pemuda itu. Untung saja perutnya kenyang diisi hidangan dari Aresh dan buah markisa. Mereka menghabiskan waktu sejam untuk mengobrol. Aresh juga bercerita mengenai masa kecilnya bersama Cello---yang memang sudah memiliki sifat jahil sejak masih setinggi satu meter.
"Dalamanmu sudah ketemu?" tanya Freqiele sambil berkacak pinggang. Aresh menerobos masuk terlebih dahulu ke dalam basemen pengap itu. Terkadang Freqiele heran, bagaimana bisa Cello menghabiskan sebagian besar hidupnya di sana?
Cello memegang ikat pinggang. "Sudah. Mau lihat? Kemari!"
Pemuda itu dengan cepat menggeser kakinya sebelum sepatu pepaku Freqiele menyentuh tulang kering. Ayunan kuat kakinya membuat Freqiele kehilangan keseimbangan dan terjatuh di pelukan Cello. Rasanya seperti ada ribuan tangan tak bertuan yang menggelitik tubuh Freqiele saat irisnya menatap manik mata indah Cello.
Kedua tangan Freqiele bertumpu pada lengan atas Cello dan membuat tubuh mereka merapat. Gadis berkumis imitasi itu melotot, dia segera mendorong Cello setelah kakinya berpijak mantap. "Biadab!"
Cello menepuk bokongnya yang berciuman dengan lantai basemen. Untung saja Aresh setiap hari menyapu lantai itu, jadi tidak begitu banyak debu yang menempel di sana. "Heboh sekali, Freq. Tenang saja, aku tidak merasakan gundukan apa pun di dadamu."
Suara lembut Aresh menginterupsi perdebatan mereka. "Kalian akan bertengkar lagi?"
"Kita tidak pernah bertengkar. Iya, 'kan, Bung?"
Freqiele mengangguk cepat melihat kedipan mata beruntung dari Cello. Awalnya, dia pikir pemuda itu kelilipan kutu terbang.
"Benarkah?" Aresh berjalan mendekat. Dia menarik lengan panjang Freqiele dan membawanya duduk ke kursi usang. "Hari sudah malam. Sebaiknya segera menyelesaikan urusanmu dengan Cello dan cepatlah pulang."
Pemuda mesum itu bergabung dengan dua gadis di kursi. Duduk tepat di hadapan Freqiele. Dia menaikkan alis. "Urusan apa, Bung? Kamu benar-benar mau melihat ... uhuk!"
Dengan cepat, Aresh bangkit dari duduknya. Dia melangkah ke tangga demi mengambil minum. Cello masih terbatuk-batuk keras, bahkan bertambah parah. Freqiele refleks mendekati Cello untuk menepuk punggungnya. "Aku pintar bersandiwara, 'kan? Berapa nilai untukku?"
Freqiele memukul kencang punggung Cello. Wajahnya kusut tak keruan akibat berhasil terperdaya. "Sebenarnya kamu tahu tidak letak peta itu? Jangan bilang itu cuma sandiwara saja."
Senyum culas menghiasi wajah Cello. "Tentu tidak, Bung. Aku tahu. Hanya saja aku ragu untuk memberikannya sekarang padamu. Bagaimana kalau hilang? Aku tidak mau tanggung jawab." Dia mendekatkan bibir ke telinga Freqiele. "Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, Freqiele."
***
Sampai jumpa, terima kasih.
***
Regard:
maylinss_
jurnalharapan
Erina_rahda
maeskapisme
Salsarcsp
nurullhr
Nitasw213
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]
Fantasy[SUDAH TAMAT] Perihal perjalanan Freqiele Tsuffiel untuk mendapatkan peta ke negara kedua di Negara Famquite yang penuh kebejatan; wanita diperlakukan tidak lebih dari seekor hewan. Mana yang harus Freqiele pilih? Memerdekakan perempuan, atau memat...