XVII

32 10 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

"Tolong! Ah, bayiku!"

Rintihan lirih segera sirna, berganti dengan suara wanita yang sedang menjerit. Tubuh Freqiele tremor, bagaimana kalau ada yang mendengar dan segera membunuh wanita itu? Sebelum hal itu terjadi, segera dia dan Cello datangi sumber suara.

Seorang wanita berperut buncit terduduk di tanah, terlihat kesakitan. Meski bingung dengan keadaan, Freqiele menghampirinya. "Oma tidak apa-apa?" tanya Freqiele panik.

Sedangkan Cello sibuk menelisik sekitar, takut-takut ada orang yang mendengar atau bahkan melihat wanita tersebut. Setelah dirasanya kondisi aman karena mereka berada di tepi hutan sepi, Cello turut berjongkok.

"Bayiku akan lahir. Tolong dia, kumohon ...."

Freqiele menggigit bibir terlalu keras, sampai meninggalkan bekas dan berdarah. Dia berpikir cepat, apa yang harus dilakukan? Membawa ke tabib dengan risiko bertemu orang atau membiarkan seorang anak lahir tanpa bantuan?

"Saya tahu rumah tabib di dekat sini. Mari, saya bantu ke sana," tawar Cello.

Freqiele ikut memapah si Oma yang sudah pucat pasi. "Cello, bagaimana dengan suaminya?"

Cello menggeleng. "Nyawa Oma dan bayinya lebih penting, Freq. Kita bisa beritahu kalau bayinya telah lahir."

Lima menit berjalan terseok-seok, akhirnya mereka sampai pada rumah yang tidak terlalu besar dengan dinding terbuat dari batu. Cello membuka pintu dan segera menguncinya. Sang Tabib yang sedang meracik ramuan melotot kaget melihat tiga manusia mengunjunginya. "Ya ampun, Lish, kamu--"

"Bantu aku, Jak, selamatkan bayi ini, kumohon," rintih wanita tadi yang ternyata bernama Lish.

"Berbaringlah dahulu, istriku akan segera ke sini, sebentar," ujar si Tabib—Jak.

Diam-diam Freqiele tersenyum penuh syukur. Masih ada orang waras yang tidak melakukan standar ganda dan tetap menghargai perempuan. Di lain sisi, Cello menutup tirai gorden rapat-rapat, tidak membiarkan celah barang sedikit. Proses kelahiran ini tidak boleh diketahui siapa pun.

Istri Jak datang dengan tergopoh, lalu menyediakan berbagai macam persiapan persalinan. Dia memang sejak dulu membantu ibu hamil melahirkan anak. Selama puluhan tahun berhenti melakukan hal itu, kali ini adalah yang pertama.

Lish yang sudah terbaring dengan selimut menutupi bagian perut ke bawah tersenyum tipis. "Bantu anakku lahir, Nam," ujarnya.

Istri Jak---Nam---mengangguk. "Semoga anakmu lahir normal. Sudah, tidak perlu tegang. Tunggu sampai bukaannya selesai. Aku ambil beberapa keperluan dahulu," kata Nam, "kalian berdua bisa jaga Lish?"

Freqiele mengangguk. "Tentu saja, Oma Nam. Kami akan menjaganya."

Sepeninggal Nam dan Jak, tinggallah mereka bertiga di sebuah ruangan tempat Lish berbaring. Wanita hamil itu menatap Freqiele dan Cello dalam. "Kalian lahir di mana? Tidak mungkin ada anak muda yang tinggal di Famquite kecuali anak Countess Abraham."

"Ceritanya panjang, Oma Lish. Maukah Oma memberitahuku tentang sejarah Famquite? Kenapa wanita di sini ...." Freqiele menggantung suaranya. Dia lebih penasaran pada wanita hamil tersebut. "Oma tidak disiksa?"

Lish terkekeh kecil, mengusap perutnya. "Suamiku tidak seperti pria sesat di negeri ini. Dia sangat mencintaiku, memperlakukan sama seperti sebelum kutukan itu terucap. Desa kami juga meniadakan standar ganda tersebut, bisa dilihat dari Jak yang mau membantuku."

Cello memperhatikan dengan saksama. Diam-diam jantungnya berdegup kencang. Belinda pernah bilang pada Cello bahwa di desa inilah dia lahir. "Oma kenal dengan seorang budak yang tinggal di sini bernama ... Cal?"

"Oh, astaga, bagaimana kamu bisa tahu hal itu?" tanya Lish sambil menatap Cello tak percaya. "Cal tetanggaku, malang sekali hidupnya. Mau kuceritakan, Nak?"

Segera Freqiele anggukkan kepalanya. Ini yang dia tunggu sejak lama. Dia dekatkan tubuh ke Lish dengan Cello di sebelahnya. "Boleh, Oma."

***

Angin berembus kencang, menerbangkan daun beserta ketenangan. Amukan sang Bayu meluluhlantakkan segala kedamaian. Seorang budak janda berjuang mati-matian melahirkan putranya.

Sore itu, tanpa ada uang guna pergi ke bidan, dia baringkan bayinya di ranjang reyot tua. Meski lemas dan kehilangan banyak darah, dia masih bisa bangkit setelah satu jam beristirahat.

"Mau ke mana, Cal?"

Wanita yang masih dalam fase nifas tersebut menoleh. "Aku harus bekerja, Lish."

Yang tadi bertanya---Lish---menggeleng. "Kamu baru saja melahirkan, istirahat saja. Countess Abraham dan Nyonya Belinda pasti mengerti keadaanmu."

Cal tak peduli. "Aku dibeli untuk mengabdi. Masih beruntung Nyonya Belinda mau membeli sekaligus mengenalkan Ron suamiku."

Mendengar Cal menyebut nama mendiang suaminya membuat Lish mengusap bahu wanita tersebut. "Pergilah, aku akan menjaga anakmu."

"Terima kasih, aku pergi."

Wanita itu berjalan menunduk sepanjang jalan. Beberapa orang kaya dengan kain tenun berkualitas tinggi menatapnya rendah. Budak kumal seperti dia hanya bisa menerima segala umpatan dengan lapang dada.

Sampai pada bangunan megah yang biasa digunakan untuk rapat petinggi negara, Cal mengambil alat bersih-bersih, siap melaksanakan tugas seperti biasa. Dengan cekatan dia mengelap jendela besar yang ada di sana. Tiang-tiang tinggi terbuat dari pualam tampak angkuh menjulang.

Cal bersama beberapa budak belian lain bekerja dalam diam. Sesekali wanita itu menyandarkan tubuh pada dinding, kelelahan. Perutnya masih sakit, belum kuat berdiri lama. Merasa tidak kuat, dia berjalan terhuyung ke kamar mandi. Belum sempat sampai di bilik, tubuhnya justru menabrak seseorang.

"HEI, BUDAK SEPERTIMU HENDAK MEMAKAI KAMAR MANDI BANGSAWAN?!" seru seorang viscountess.

Mata Cal membelalak. Meski sadar diri dia hanya budak, bukankah hal ini sudah berlebihan? "Maaf, Tuan, saya--"

Tamparan keras menghampiri pipi kurusnya, membuat Cal terjatuh. Tubuhnya benar-benar seperti remuk sekarang. Rasa sakit setelah melahirkan masih terasa. "BERANI-BERANINYA WANITA RENDAH SEPERTIMU BERBICARA DI DEPANKU?! Sial, bertambah saja alasanku enggan menikah. Wanita memang tidak berguna. Hei, kamu lihat, darah mengalir di kakimu, menjijikan! Bahkan kuda ternakku lebih mulia dibanding seorang wanita!"

Cal merasa emosinya memuncak. Tidak peduli dengan status yang disandang lelaki di hadapannya, dia berdiri tertatih. "Tuan yang terhormat, saya hanya ingin mengingatkan bahwa Tuan pun lahir dari rahim seorang perempuan."

Wajah viscountess tampak memerah menahan amarah. Harga dirinya hancur karena dinasihati seorang budak belian. Dengan geram, dia menyeret tubuh ringkih Cal ke ruangan penuh lelaki berseragam rapi.

"Ada apa ini, Countess Pram?" tanya Abraham terkejut.

Viscountess Pram menghempaskan tubuh Cal. "Budak ini sudah berani membantah dan kurang ajar!"

"Tidak, Tuan Abraham, saya--"

"Demi apa pun, dia sudah gila berani bersuara di depan Countess!" sahut pria bercambang lebat.

Seorang lelaki berusia sekitar empat puluhan berdiri dengan pakaian hitamnya. Dialah penegak hukum di Famquite. "Menurut pasal tiga ratus delapan nomor satu: 'Budak yang berani menentang atasannya akan dipenggal kepalanya dengan persetujuan countess'. Dia seharusnya dihukum mati, Countess Abraham."

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regard:
maylinss_
jurnalharapan
Erina_rahda
maeskapisme
Salsarcsp
nurullhr
Nitasw213

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang