Selamat datang, selamat membaca.
***
Lima hari sudah mereka lewati di atas sebuah kapal uap yang entah kapan akan menepi setelah pulang dari pasar di kota sebelah. Bisa jadi suatu hari, atau mungkin semesta tidak memberikan kata 'tetapi' pada mereka yang ada di dalamnya.
Mata sipit dengan alis tebal dan kontur muka tajam. Dia rebah dengan mata tertutup di atas kabin, membuat salah satu gadis di sana---yang paling berisik dan mengenakkan gaun kuning---menendangnya beberapa kali. "Joce! Apa kamu mati, huh? Kenapa tidak bangun juga?"
Yang bergaun putih menarik tangan temannya. "Esi! Jangan seperti itu."
Trapesium menggembungkan pipi kesal. "Apa aku harus mengeluarkan lawakanku agar Joce mau bangun, Zea?" deliknya.
Zealire menghela napas berat. Dia duduk di sebelah tubuh Jocelyn yang terbaring di atas kasur tipis. Diarahkannya tangan ke kening Joce, kemudian beralih menatap Esi. "Demam."
Trapesium menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Gadis bersurai panjang itu ikut duduk di sebelah Joce. "Lalu, kita harus bagaimana, Ze?"
"Lapor ke Tuan Xylo?" usul Zealire yang langsung dibantah oleh Trapesium dengan silangan tangan di depan dada.
"Joce belum bangun tidur selama dua hari, setelah mereka bersama. Aku rasa terjadi sesuatu, mungkin mereka sedang bertengkar?"
Gadis dengan surai berwarna putih kekuningan yang tak kalah panjangnya dengan Trapesium itu memegangi kepala, mencoba berpikir. Baru akan mengatakan sesuatu, Trapesium justru menaruh telunjuknya di bibir. "Ssstt, Tuan Xylo datang sepuluh detik lagi, ayo, kita pura-pura tidur," bisiknya.
Zealire yang bingung dan tidak tahu mau apa menurut saja ketika tangannya ditarik dan pergi rebah di sebelah Jocelyn. Dengan bodoh dia mengikuti Trapesium dan pura-pura tidur karena sura derap langkah makin terasa.
Matanya terbuka sedikit untuk mengintip saat terasa suara itu menghilang. Dari yang secercah cahaya, Zealire bisa melihat dengan sempurna raut khawatir yang tercetak jelas di wajah tuannya.
Xylo celingukan, kemudian dengan ragu menyentuh kening Jocelyn menggunakkan tangannya. Tak lama, dia menarik kembali dan langsung menendang jerigen kosong yang berada tepat di depan kaki Trapesium. Membuat keduanya sontak terbangun dengan jantung berdegup kencang.
"Kenapa tidak ada laporan kalau Joc--" Xylo meraup wajah frustasi. Kemudian, menunjuk Joce yang tengah terbaring lemah. "Anak itu maksudnya. Kenapa kalian tidak beritahu?!"
Trapesium bergidik, merinding dicampur penasaran. Dia meremas tangannya. "Jadi, apa kita buang Joce ke laut saja?" sarannya asal.
Sontak Xylo mengusap wajah gusar. Kemudian melepas topi yang senantiasa di kepalanya dan memasangnya di wajah Joce. Trapesium dan Zealire mebelalak bingung, kenapa juga wajahnya harus ditutupi?
"Kalian, cari kain dan wadah. Aku tunggu di ruanganku," ucap Xylo, lalu pergi meninggalkan kedua anak manusia yang saling menatap bingung satu sama lain. "CEPAT!" seru Xylo menggelegar yang membuat Trapesium dan Zealire kelabakan mencari benda yang diperintahkan.
***
Hari sudah sore di belakang rumah Countess Abraham, sedangkan seorang pria berkulit mulai keriput dan berambut hitam dengan iris mata ungu masih saja berlatih pedang, sudah banyak yang menyuruhnya menghentikan aksi.
"Sudahlah Abraham, kasihan partnermu itu, mereka lelah," saran seorang wanita bergaun megah yang dari wajahnya lebih muda dari pria yang dipanggil Abraham.
"Sudah lebih dari beribu-ribu kali aku bilang padamu, Bel, panggil aku 'Tuanku'!" tegas Abraham sambil membuka baju latihan perangnya. Seketika napas lega memenuhi udara.
"Oke, Abraham, mari kita makan," ajak Belinda yang membuat Abraham memutar bola mata malas.
***
Suasana ruang makan saat pukul tujuh malam itu sepi, Aresh berpamitan latihan menari. Menyisakan dua orang pasturi yang tanpa publik tahu sering berdebat karena hal-hal kecil. Belinda memotong kentang rebus di piringnya, kemudian menyuap dan beralih menuang air ke gelas porselen milik Abraham. "Lelah?"
Pertanyaan itu diangguki cepat oleh Abraham, dia menenggak penuh air yang diberikan Belinda. Membuat wanita itu berdecak keras. "Lain kali kalau kau berlatih lihat waktu, suasana, dan kondisi, Abraham." Belinda membuang napas kasar, suaminya ini memang suka lupa diri jika sudah berlatih pedang.
Abraham menusuk kacang polong dari piringnya, lalu memasukkan ala mulut. "Aku pusing memikirkan masa depan Aresh. Dengan siapa dia menikah dan apakah seusai aku mati, hidup Aresh aman?" tanya Abraham, entah dia melayangkan kalimat tersebut pada siapa.
"Kamu sudah bertemu dengan utusan Xylo yang lima hari lalu datang? Dia sering main ke sini bersama Aresh. Apa bisa kita meminta dia untuk membawa Aresh pergi dan--"
Gelengan pelan membuat ucapan Bellinda terdiam. "Perempuan Famquite tetap perempuan Famquite, takdir dan tidak ada yang bisa mengubah itu, Bel."
Kali ini Belinda diam, keberisikan dirinya sebagai seorang istri dan ibu rasanya dibatasi di negara ini. Dia hanya tersenyum kecil dan kembali memakan kentang. Di tengah dentingan sendok bercampur bau-bau matahari temaram, keduanya terlarut dengan masa depan seperti apa yang akan dijalani darah daging mereka.
Namun, gerombolan langkah terasa kian mendekat. Abraham tahu ada sesuatu yang tidak beres, dia segera memasang jubah dan keluar rumah. Benar saja, puluhan prajurit sampai di depan rumahnya.
Salah satu dari mereka---Fen---turun dari kudanya dan membungkuk setengah badan dengan maksud memberi hormat. Abrahan mengangguk sebagai jawaban, dengan segsra Fen menengakkan tubuhnya.
"Countess Abraham, izin! Saya Fen dari pasukan khusus Famquite ingin menjemput Tuan untuk segera datang ke gedung pengadilan." Ucapannya tegas, membuat Belinda harap-harap cemas, pasalnya gedung itu terakhir dipakai saat peradilan Cal dua puluh tahun lalu.
Abraham juga mengerjap. "Komanandan Fen, bisa beri tahu saya apa yang sedang terjadi?"
Fen menganggiuk. "Satu penyusup perempuan dan satu pemuda yang diduga anak budak bernama Cal."
Belinda sontak menutup mulutnya, terkejut, dia sampai linglung dan menaruh beban tubuh di dinding rumahnya. Dengungan terdengar jelas di telinga sampai menutupi suara lain. Sekarang ... Belinda akan benar-benar mati, pun dengan Cello.
***
Sampai jumpa, terima kasih.
***
Regard:
maylinss_
jurnalharapan
Erina_rahda
maeskapisme
Nitasw213
nurullhr
Salsarcsp
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]
Fantasy[SUDAH TAMAT] Perihal perjalanan Freqiele Tsuffiel untuk mendapatkan peta ke negara kedua di Negara Famquite yang penuh kebejatan; wanita diperlakukan tidak lebih dari seekor hewan. Mana yang harus Freqiele pilih? Memerdekakan perempuan, atau memat...