XIII

28 10 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Kembali lagi dengan rutinitas yang mulai dinikmati. Dengan gaya sok berkuasa dan kedua tangan di balik punggung, Freqiele menyuruh ke sana-sini, membuat beberapa pekerja---terutama Tar---melirik sinis. Namun, dia tak ingin mengindahkan hal tersebut.

Sisa empat hari dan harus segera menemukan peta negara kedua. Apa Cello memang tahu di mana letak benda tersebut? Bagaimana kalau dia hanya bergurau? Mengingat Cello, Freqiele justru terbayang dengan perkataan lelaki itu tadi pagi.

Tidak, tidak, tidak! Bukan saatnya memikirkan hal seperti itu. Dia harus fokus pada tujuannya ke Negara Famquite ini. Tanah subur bagi yang berkuasa dan tandus untuk si masyarakat bawah. Menyedihkan, dunia semakin tua, tetapi penghuninya justru kian tidak beradab.

Freqiele meletakkan kedua tangannya di pagar kayu setinggi dada. Rambut pendeknya terbawa udara kering dari lahan tandus yang terhampar luas. Kalau dipikir-pikir, pekerja batu bara begitu kuat secara fisik. Bekerja selama delapan jam di bawah terik dan berebut oksigen alakadarnya. Dengan upah yang tidak seberapa untuk menyambung hidup, mereka tetap mengabdi di tempat terpencil seperti ini.

Meski begitu, tetap saja kebejatan mereka tidak bisa dimaafkan. Seenak jidat merampas kebebasan wanita, memperlakukannya seperti hewan. Freqiele memijit dahi pelan, bayangan kalau dirinya tertangkap membuat dia pusing.

***

Pulang bekerja, Freqiele memutuskan kembali ke rumah Aresh, hendak bertemu dengan Cello. Dia harus segera menemukan peta kedua sebelum tenggat waktu berakhir.

Di perjalanan menuju rumah mewah Countess Abraham, gadis itu menyempatkan diri membeli minuman segar. Berjalan jauh pada tanah tandus menggunakan sepatu pepaku tidaklah menyenangkan.

Setelah meredakan dahaga, Freqiele kembali berjalan di pusat kota. Tempat ini ramai, penuh tawa dan candaan. Suara tapak kuda yang berlalu-lalang di jalanan turut memeriahkan suasana. Namun, lagi-lagi tidak ada suara perempuan.

Sampai akhirnya gendang telinga Freqiele mendengar suara gaduh dari sebuah rumah. Banyak orang yang berkerumun, membuat dia ikut melakukan hal serupa.

Di tengah kerumunan itu, seorang pria bercambang terlihat menginjak-injak perut wanita yang sudah terkapar tak berdaya. "DASAR TIDAK TAHU MALU! UMURMU SUDAH EMPAT PULUH LEBIH, MANA MUNGKIN BISA MENGANDUNG ANAK, HAH?!"

Seketika, Freqiele menutup mulutnya agar tidak menjerit. Wanita itu sedang ... hamil?

"HEH, SUNDAL, MATI SAJA KAMU! AKU TIDAK MENIDURIMU UNTUK MENGHASILKAN ANAK, BODOH!" teriak pria tadi dengan entakan kaki yang kian kencang. Darah mengalir dari paha ke ujung kaki wanita itu.

"A--"

Sepatu pria tersebut membungkam mulut istrinya yang mengeluarkan suara. "BERISIK! WANITA TIDAK PANTAS BERSUARA!"

Bukannya membantu, kumpulan lelaki yang menonton justru melempari si wanita hamil dengan berbagai benda. Tidak kuat lagi melihat hal tersebut, Freqiele berjalan cepat dengan menurunkan topi petnya agar menutupi wajah.

Diam-diam, netra gadis itu berkaca. Kemudian, satu bulir air mata menetes. Dia ... menangisi saudaranya yang tersiksa di tempat terkutuk seperti ini.

***

Kaki Freqiele sampai di ruang bawah tanah rumah Aresh. Gadis itu berusaha tenang dan tidak bereaksi lebih jauh. Dia duduk di sebelah Cello tanpa mengatakan apa pun. Kemudian, Aresh tiba-tiba datang kembali.

"Freq, maafkan aku, hari ini jadwal aku berlatih menari. Bisakah kamu menunggu dengan Cello?" tanyanya.

Freqiele mengangguk. "Tentu, aku akan menunggumu."

Aresh tersenyum, lalu meletakkan nampan berisi makanan dan dua gelas minum di meja. "Baiklah, aku pergi dulu."

Pintu ruangan ditutup, Cello segera mendekat ke arah Freqiele. "Kenapa menangis?"

Terkejut dengan penuturan Cello, Freqiele menoleh. Namun, nahas, jarak lelaki itu terlalu dekat dengannya, membuat pipi Freqiele tak sengaja menyentuh ujung hidung Cello.

Tidak seperti biasanya, Freqiele justru terdiam tanpa membuat jarak lebih. "Kamu beruntung tidak keluar dari basemen ini."

Alis tebal Cello menekuk. "Apa maksudnya?"

"Di luar sana, ketidakadilan terus terjadi. Bisa kamu bayangkan betapa tersiksanya wanita di negara ini?" bisik Freqiele, "mereka pikir dari mana mereka lahir kalau bukan rahim seorang perempuan?"

Tangan Cello menyelipkan anak rambut Freqiele yang menutupi mata hijau indahnya. "Katakan, apa yang bisa kulakukan saat ini?"

Kepala gadis berambut pendek itu tergeleng. "Tidak ada." Tak ingin melihat raut sedih di wajah Freqiele, Cello berinisiatif mencairkan keadaan. Digigitnya pelan pipi kiri Freqiele, membuat gadis itu melotot kaget. "Sialan! Kamu mau menantangku, huh?"

Cello mengangkat satu alis ketika Freqiele menangkup kedua sisi rahangnya. "Kamu mau menciumku, Freq? Silakan, silakan, aku dengan senang hati menerimanya."

Freqiele tersenyum miring, lantas mendekatkan wajahnya. Kemudian ....

"ARGH, KENAPA KAMU GIGIT HIDUNGKU, FREQ?!"

Tubuh Freqiele segera menjauh sambil tertawa menggelegar. "Rasakan itu!"

Cello segera bangkit dan mengejar Freqiele, sebelum irama ketukan sepatu terdengar. Dua manusia itu saling pandang, lalu Freqiele bertanya pelan. "Aresh?"

"Bukan. Itu pasti Nyonya Belinda. Cepat, sembunyi di kamarku!" seru Cello.

"Kenapa harus di kamarmu?!" protes Freqiele seketika.

Cello mendekat. "Hanya kamarku yang tidak pernah Nyonya kunjungi. Cepat masuk atau kucium kamu sekarang!"

Buru-buru Freqiele menuruti ucapan lelaki sinting yang selalu mengancamnya dengan ciuman. Dia bergidik, malas membayangkan hal itu. Tepat ketika kamar Cello tertutup, satu-satunya pintu yang mengakses basemen terbuka.

Wanita bergaun indah dengan riasan memukau datang. Perhiasan menempel di beberapa bagian, dengan kalung cantik yang menandakan bahwa dialah istri sang Countess.

Tubuh Cello menunduk sesaat, memberi hormat. "Salam, Nyonya Belinda."

Belinda mengangguk. "Apa kabar, Cello?"

"Baik, Nyonya," jawab Cello sopan.

Baru saja hendak mengeluarkan suara lagi, ujung mata Belinda melihat jamuan di atas meja. "Dua gelas? Untuk siapa saja?"

Dengan tenang, Cello menjawab, "Tadinya Aresh membawa itu untuk kami berdua, tetapi dia harus berlatih menari."

Tatapan Belinda menyelidik. "Benar?"

"Tentu, untuk apa saya berbohong? Nyonya bisa memastikan hal itu pada Aresh nanti."

"Baiklah, aku hanya ingin memastikan keadaanmu. Kalau ada sesuatu, jangan segan meminta pada Aresh, ya? Aku pergi dulu, ada sesuatu yang perlu kuselesaikan," ujar Belinda.

Cello membungkuk lagi. "Terima kasih banyak, Nyonya."

Sepeninggal Belinda, Cello berteriak di ruang bawah tanah yang kedap suara tersebut. "Aku tahu kamu tertawa di kamarku, Freq! Keluar! Aku makan kamu!"

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regard:
Erina_rahda
jurnalharapan
maeskapisme
maylinss_
Nitasw213
nurullhr
Salsarcsp

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang