Selamat datang, selamat membaca.
***
"Jadi, apa yang harus kulakukan hari ini, Opa Math?" Freqiele sudah siap lengkap dengan peralatan pelindung, mengingat dia akan bekerja di pertambangan batu bara.
Math mengerutkan kening. "Hari ini kamu hanya akan mewawancarai beberapa calon pekerja." Dia melirik seluruh tubuh Freqiele. "Kita tidak melakukannya di bawah tebing bebatuan, Freq."
Freqiele tersenyum malu. Akibat begitu semangat untuk bekerja, dia rupanya salah kostum. Daripada berdiam diri di rumah kayu itu dan mendengar jerit kesakitan atau mungkin bertengkar dengan Cello, memulai pekerjaan baru sepertinya menyenangkan. Ngomong-ngomong soal Cello, Freqiele ingat, pemuda itu pernah berkata jika dia mengetahui keberadaan peta kedua. Rasanya sangsi kalau harus meminta bantuan pada orang tak waras itu.
"Ayo, Freq. Tidak masalah dengan helm itu. Siapa yang tahu jika di jalan ada meteor jatuh."
Menurut Freqiele, Math itu pria baik terlepas dari perut buncitnya yang terlihat menyeramkan. Mereka mulai melangkah bersama. Tempat wawancara cukup jauh. Freqiele bersyukur mereka berangkat pagi hari, setidaknya sinar matahari yang terik belum muncul. Apalagi sepanjang jalan hampir tidak ada pohon untuk bernaung.
Freqiele mewawancarai sekitar delapan orang. Prosesnya dilakukan satu per satu dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan lama waktu calon pekerja menjawab. Ada tiga orang yang menangani wawancara, termasuk dirinya dan Math. Seorang lagi merupakan salah satu atasan di tambang batu bara ini: Tar. Freqiele merasa bangga menjadi utusan seorang baron, Xylo.
"Anda sudah tahu tentang Negara Famquite. Mengapa tetap ingin bekerja di sini?" Pertanyaan terakhir untuk calon pekerja akhir pula. Freqiele sedikit waswas menunggu jawaban pemuda itu. Dia sangat menginginkan jawaban yang berbeda.
"Saya butuh pekerjaan, jadi bagaimanapun tempatnya, saya akan tetap bekerja. Sebenarnya, bagi para pria, negara ini sangat bagus."
Di tempatnya, Freqiele sudah sangat tak nyaman. Dia berdeham kecil saat melihat senyum puas terpampang pada wajah ketiga pria di ruangan itu. "Baiklah. Silakan keluar."
Pria di sebelah Math berkata, "Sepertinya mereka berdelapan akan diterima. Benar begitu, Math?"
Alih-alih menjawab, Math menoleh ke arah Freqiele. "Bagaimana menurutmu?"
"Kalau aku tolak semua, kalian mau protes?" Wajah Tar keruh. Pria itu langsung bangkit dan keluar dari sana, sama sekali tidak berniat menutupi ketidaksukaannya pada Freqiele.
"Padahal aku cuma bercanda." Freqiele mengangkat bahu. "Kakek tua terlalu perasa."
Math geleng-geleng kepala. "Sudah. Mau ke pertambangan dan jadi mandor di sana?" Dia menunjuk helm pelindung di atas meja. "Buat benda itu berguna."
Semangat Freqiele yang sempat menyusut kembali berkibar. Helm pelindungnya akhirnya berfungsi. Kapan lagi budak sepertinya bisa memerintah orang-orang?
"Ayo!"
***
Mungkin saja telunjuk Freqiele akan patah karena terlalu sering mengacung. "Itu di sana, kerja yang benar."
Orang yang ditunjuk menampilkan wajah masam, tetapi tetap bekerja dengan benar seperti yang diperintahkan Freqiele. Gadis itu sangat senang mencari-cari kesalahan para pria, terutama kedelapan pekerja yang semuanya lolos seleksi akhir. Menyebalkan jika mengingat jawaban wawancara mereka. Sesekali Freqiele mengusap wajahnya, sinar matahari terik sekali siang ini.
Freqiele berjalan di antara bebatuan yang sudah diratakan agar memudahkan untuk dilewati. Dia menyilangkan tangan ke belakang. Matanya setia berkeliling, sesekali menyipit saat harus melihat ke arah matahari untuk memperkirakan waktu.
Kata Xylo, dia harus jadi orang yang tegas sehingga tidak mudah diremehkan. Xylo pun memberikan contoh dialog bagaimana cara memerintah pada Freqiele. Ah, sebenarnya dia sudah memiliki bakat itu sejak lahir. Hanya saja tidak pernah memiliki kesempatan untuk unjuk atensi.
"Kamu tidak apa?" Freqiele berjalan mendekati seorang perempuan yang kemarin ditemuinya. Dia terjatuh dan beberapa barang bawaannya menghambur.
Perempuan itu cepat-cepat memasukkan kain ke dalam keranjang. Setelah itu, bergegas meninggalkan Freqiele. Sejak kemarin, dia bertanya-tanya untuk apa kain itu? Freqiele tidak sempat melakukan kontak fisik dengan mereka. Rasa penasaran akhirnya terjawab saat waktu istirahat.
Freqiele dengan gaya maskulin berjalan ke tenda yang digunakan untuk beristirahat oleh para pekerja. Bukannya hening dan nyaman, suasana di dalam sangat ribut dipenuhi sorakan, tawa, dan teriakan. Mungkin saja, istirahat gaya mereka sedikit berbeda.
Mata Freqiele terbelalak saat sudah menginjakkan kaki di dalam tenda. Beberapa pria asyik minum minuman keras di sudut sebelah timur. Mereka mengobrol dengan suara dan tawa yang keras. Bahkan ada yang tanpa sengaja memecahkan gelas. Suara-suara itu mengusik pendengaran. Sedangkan di sudut tenda lainnya, pria-pria sibuk menyetubuhi beberapa wanita dengan kasar.
"Apa-apaan ini?!" teriaknya spontan tanpa dapat diantisipasi. Semua mata tertuju padanya. Mungkin merasa kaget.
"Apa-apaan?" tanya pria yang sedikit mabuk. "Bukankah ini sudah menjadi tradisi selama dua puluh tahun? Hei, pemuda kurus utusan Xylo! Kukira kamu sudah tahu perihal ini. Jangan berlagak tidak suka. Kamu mau juga? Bergabunglah."
"Iya, bergabung saja."
"Ada wanita yang belum dipakai hari ini. Bisa buatmu."
Telinga Freqiele panas. Dia ingin menjerit dan meruntuhkan tempat biadab itu. Kalau bisa membunuh semua pria di sana.
Freqiele sudah tidak tahan. Gadis itu berlari keluar dari tempat sialan tersebut, bergegas pulang tanpa peduli hari masih siang. Kakinya melangkah cepat menjauhi tenda, berlari di antara bebatuan dan di bawah terik matahari.
"Aduh." Freqiele terjatuh. Lututnya tepat bertumpu pada batu yang sedikit besar. Nyeri menerpa, kaki mendadak kaku dan tidak dapat diluruskan.
Freqiele duduk beberapa saat sembari menikmati sensasi di lututnya. Matanya menyipit ke arah belakang. Suara berisik masih terdengar samar dari tenda yang terlihat sekecil genggaman tangan. "Aku sudah tidak tahan. Perempuan-perempuan itu harus merasakan merdeka."
Kakinya sedikit gemetar saat dipaksa berdiri. Freqiele berjalan tertatih hingga ke rumah kayu sederhana yang menjadi tempat tinggalnya selama tujuh hari ini. Ya, kecuali jika dia ketahuan atau terlambat ke dermaga. Hidupnya mungkin akan hancur setelah itu.
Lututnya sedikit membiru. Freqiele membasuh dengan air hangat. Rasanya dia ingin mengurung diri di rumah ini hingga waktu penjemputan oleh Xylo tiba. Kabur dari negeri ini dan menghapus kenangannya dari memori. Namun, dia tidak ingin mengecewakan Xylo. Pria itu sudah berbaik hati membelinya, tidak pula memperlakukan sebagai budak.
"Sepertinya aku harus meminta bantuan pada Aresh, atau jika perlu kepada Cello."
Hati kecilnya berbisik, Freqiele harus melakukan sesuatu untuk wanita-wanita di sini sebelum pergi meninggalkan Negara Famquite.
***
Sampai jumpa, terima kasih.
***
Regard:
Erina_rahda
jurnalharapan
maeskapisme
maylinss_
Nitasw213
nurullhr
Salsarcsp
KAMU SEDANG MEMBACA
FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]
Fantasi[SUDAH TAMAT] Perihal perjalanan Freqiele Tsuffiel untuk mendapatkan peta ke negara kedua di Negara Famquite yang penuh kebejatan; wanita diperlakukan tidak lebih dari seekor hewan. Mana yang harus Freqiele pilih? Memerdekakan perempuan, atau memat...