X

30 11 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Sembari melihat perdebatan kecil Cello dengan Freqiele, Aresh memakan kue buatannya sendiri, sesekali dia juga tertawa. Dia heran dengan Cello, kenapa tidak mau membiarkan teman barunya itu duduk tenang? Pasti selalu ada saja bahan untuk dijadikan debat.

"Uhuk!" Aresh terbatuk, membuat perhatian Cello dan Freqiele teralih. Sepertinya dia tersedak kue. "Aku pergi ambil minum dulu, ya," pamitnya seraya beranjak dari kursi.

Cello dan Freqiele mengangguk. Gadis dengan gaun biru polos tadi keluar dari ruantan itu. Saking semangatnya ingin bertemu teman baru, Aresh jadi lupa untuk membawa minuman ke sana. Alhasil, kini dirinya sendiri yang kerepotan mencari minum.

Freqiele menjaga jarak dengan Cello, sebab sadar di ruangan itu hanya ada dirinya dan lelaki setengah mesum. Dia mengambil sepotong kue dari dua yang tersisa. Selanjutnya, dia memasukkan ke dalam mulut. Kue bulat tanpa lubang---di dalamnya terdapat cokelat---buatan Aresh itu sangat enak. Rasanya Freqiele tidak ingin berhenti makan, tetapi dia hanyalah tamu. Mana mungkin meminta tambahan jamuan.

Sengaja, Cello mendekatkan kursinya menjadi setengah lengan lebih dekat dengan Freqiele. Lelaki itu berdeham. Freqiele waswas. Dia menggeser kursinya ke sebelah kanan lagi. Asli, Cello tidak bisa membiarkan Freqiele makan kue bulat itu dengan tenang. Menyebalkan!

"Jangan bergerak, Nona!" peringat Cello, yang selanjutnya kembali menggeser kursinya supaya dekat dengan Freqiele.

"Jangan dekat-dekat aku, Tuan!" Nona muda itu memperingatkan balik.

Cello terkekeh. "Tenanglah, aku tidak akan menyentuhmu. Lagipula perempuan datar tidak menarik minatku," ujarnya. Hal itu membuat Freqiele ingin sekali melayangkan bogeman kepadanya. Melihat muka masam yang tergambar di wajah Freqiele, Cello tambah terkekeh. "Nona Muda ini makin cantik kalau marah. Barangkali di luar sana ada yang minat denganmu, Freqiele."

Oh, Tuhan, kenapa Freqiele harus bertemu dengan makhluk menyebalkan seperti ini? Tenang, tenang, ini demi peta ke negara kedua. Meskipun Cello menyebalkan, dia adalah kunci untuk pergi dari negeri dedemit ini.

"Hentikan omong kosongmu, Cello! Sebenarnya kamu mau apa?"

Cello mengangguk-angguk. Ini saatnya berbicara serius. "Jadi, begini. Aku hanya ingin memberi saran, kalau sebaiknya kamu jangan memberitahu Aresh soal tujuanmu ke sini," ucap Cello.

Dahi Freqiele tampak berkerut. "Apakah kamu tidak percaya dengan temanmu sendiri, Cello?"

Gelengan cepat ditunjukkan oleh Cello. Bukan, bukan begitu maksudnya. "Aku percaya. Akan tetapi, ini hanyalah salah satu cara untuk mengantisipasi supaya rencanamu tidak terbongkar, apalagi Aresh anak countess. Terserah saranku mau dipakai atau tidak," jelasnya. Cello memainkan penutup kepala milik Freqiele di tangannya.

Butuh waktu beberapa detik bagi Freqiele untuk mencerna perkataan Cello. Kemudian, dia menjentikkan jarinya. "Sekarang aku paham. Ternyata kamu seperhatian ini denganku, ya." Freqiele tersenyum-senyum sendiri sambil melihat arah atas.

Cello bergidik. "Tidak. Aku hanya tidak mau direpotkan olehmu nanti. Jika penyamaranmu terbongkar, pasti kamu akan meminta bantuan kepadaku. Bukankah begitu?" Seakan tahu apa yang akan terjadi, Cello bertanya dengan suara beratnya.

"Hm, baiklah. Terima kasih banyak sarannya. Untuk peta kedua, apakah kamu masih mau membantuku?"

"Haha, memangnya kalau bukan aku yang membantumu, siapa lagi?" Sial, kenapa setiap perkataan Cello membuat Freqiele kesal. Ya, meskipun yang dikatakan lelaki itu benar.

Freqiele mengembuskan napas kesal. Dia menyenderkan tubuh ke dinding, mata memejam sejenak. Untuk selanjutnya, dia teringat sesuatu. Sesuatu yang sangat penting dan harus disampaikan kepada Cello. Karena ... lagi-lagi hanya Cello yang mungkin bisa membantunya.

"Cello, aku ingin berbuat sesuatu sebelum pergi dari sini. Mau tidak, kamu membantuku lagi?"

"Apa memangnya?"

"Memerdekakan perempuan, bisakah?"

***

Freqiele kembali dari kediaman Cello. Sekarang dia sudah berada di kamarnya yang sempit dan sedikit pengap. Maka dari itu, dia membuka berjalan ke arah jendela untuk membukanya. Membiarkan sedikit udara masuk, sepertinya lebih baik untuk Freqiele. Apalagi di tempat yang kering seperti ini.

Namun, pemandangan tidak mengenakkan mata tertangkap oleh pengelihatan Freqiele. Sebuah rumah tak jauh dari kediamannya, jendela kamar rumah itu dibiarkan terbuka. Dari sana terlihat seorang wanita yang sedang dianiaya oleh salah satu karyawan yang tadi sempat dia beri gaji. Di tubuh wanita itu, hanya tersisa pakaian dalam dan selembar kain putih untuk menutupi. Wanita itu tampak mengeluarkan air mata, tetapi masih saja menahan suaranya.

Freqiele menutup jendelanya. Membiarkan udara di ruang ini pengap, sepertinya belum setimpal dengan apa yang wanita tadi alami. Hati Freqiele teriris. Terlebih, baru saja dia mendengar jeritan tragis dari rumah tadi.

Nasibnya baik. Seburuk-buruknya dia menjadi seorang budak, beruntung belum ada yang memperlakukan seperti itu. Freqiele menangis dengan memeluk lutut di bawah jendela. Dia tidak kuasa melihat saudaranya diperlakukan seperti itu.

Sebenarnya, kenapa Famquite menjadi seperti ini? Pertanyaan itu membuat Freqiele teringat beberapa hal. Dia memiliki utang bercerita tentang asal-usul Famquite kepada keluarganya di kapal. Maka dari itu, mulai detik ini Freqiele membulatkan tekad untuk memerdekakan wanita di Famquite dan akan mencari tahu tentang asal-usul negeri ini.

Dia berharap, ketika keluar dari Famquite, dia mendapatkan dua hal penting. Pertama, peta yang Xylo minta. Kedua, kemerdekaan dan hak bicara para wanita di sini. Dua hal itu harus Freqiele capai.

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regard:
Erina_rahda
jurnalharapan
maeskapisme
maylinss_
Nitasw213
nurullhr
Salsarcsp

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang