XI

30 11 0
                                    

Selamat datang, selamat membaca.

***

Pikiran Freqiele kalut saat mendengar ada seseorang yang mengetuk pintu rumah kayunya. Jangan sampai itu adalah Countess Abraham yang hendak mengajaknya minum dan bermain wanita. Buka atau tidak?

Freqiele awalnya akan mengistirahatkan tubuh. Bertemu dengan Cello selalu menguras tenaga. Perdebatan kecil dan pertengkaran besar tidak dapat dielakkan jika keduanya saling tatap. Gadis maskulin itu memutuskan membuka pintu. Mungkin saja itu Math. Dia meraih kumis imitasi, lalu memasang di atas bibirnya. Mematut diri di cermin. Pria kurus dengan kumis yang membuatnya terlihat manis sekaligus berwibawa. Sempurna.

Meninggalkan kebiasaan memuji penampilannya, dia bergegas ke arah pintu yang sekarang diketuk kasar. Freqiele langsung mengetahui siapa yang datang. Walau seluruh tubuhnya tertutup kain, aura menyebalkan dapat Freqiele rasakan.

Orang yang bertandang ke rumah kecilnya di bawah sinar temaram rembulan itu lebih tidak terhormat dari ayah Aresh. "Apa yang kamu lakukan?"

Cello masuk begitu saja ke dalam ruangan sempit dan pengap. Dia membuka tudung serta masker yang dipakai, kemudian duduk di kursi kayu reyot yang berada di satu-satunya ruangan di rumah itu. Pemuda itu menaikkan kakinya ke atas meja. Matanya berpendar menilik tempat tinggal Freqiele. "Rumahmu tidak jauh beda dengan basemen Aresh."

"Pergi dari sini, Cello! Bagaimana jika ada yang melihatmu?"

Cello terbahak. "Sepertinya Nona sangat menghawatirkanku. Kalau begitu, biar aku tinggal bersamamu di sini, lalu kita--"

Freqiele menubruk tubuh Cello, dia membungkam mulut pemuda mesum itu. "Jangan lakukan atau katakan hal tidak senonoh, atau aku akan tendang milikmu hingga membengkak!" bisiknya tepat di depan wajah Cello.

Tangan Freqiele dengan mudah disingkirkan oleh Cello. Dia menarik siku gadis itu hingga jarak wajah mereka sangat dekat. "Asal kamu tahu, Freq, kamu mendudukinya."

Mata Freqiele terbelalak. Dia segera bangkit dari posisinya yang duduk di pangkuan Cello. Menjijikkan. "Nona pasti sengaja, 'kan? Ayo, kemari lagi!" Cello menepuk-nepuk pahanya, mengerling genit.

Freqiele mendekat ke sudut ruangan untuk mengambil sebuah tongkat kayu. Dia mengacungkannya ke arah Cello. "Jangan macam-macam!"

"Baiklah, baik. Mari kita bicara layaknya pria, Bung." Cello menunjuk kursi ringkih di hadapannya.

Dengan waswas, Freqiele duduk di sana. Tangannya memegang erat tongkat itu, jika tadi Freqiele tidak bisa mendorong Cello, maka sekarang dia jamin bisa memukulnya hingga pingsan. "Apa sebenarnya tujuanmu ke sini?"

"Ehm, Freq, sepertinya kamu harus menggeser kursimu ke sini. Kita harus membicarakan ini dengan suara pelan. Mulut yang berhadapan dengan telinga."

Sial!

Cello menjerit saat tulang keringnya terkena pukulan. Sensasi berdenyut seketika berkumpul di bekas tempat bertenggernya tongkat kayu Freqiele. "Rupanya kamu ingin bermain kasar."

Freqiele memajukan tongkatnya, itu membuat Cello tertawa. "Sekarang waktunya serius. Jadi, jangan mengancam dengan senjata berbahaya."

"Cepat katakan!"

Wajah Cello berubah. Tidak ada lagi senyum nakal di bibirnya. "Sudah kubilang, 'kan? Jangan sampai Aresh tahu soal ini. Pencarian peta ke negara kedua itu. Jadi, kita bicarakan di sini." Pemuda itu memegang lehernya yang terasa kering. "Apa tidak ada minum?"

"Tidak! Ayo, lanjutkan!"

Cello terkekeh. Freqiele sangat antusias. "Keinginan keduamu, memerdekakan perempuan Negara Famquite? Sebelum melakukan misi, ada baiknya Nona tahu mengapa perempuan diperlakukan seperti budak.

"Dahulu, orang-orang di negara ini hidup damai. Sebelum Countess Abraham memenggal kepala seorang wanita yang tengah berjuang melahirkan seorang bayi. Entahlah, setelah hari itu, bayi-bayi yang lahir tampak seperti monster. Mereka membunuh semuanya. Maka dari itu, sekarang tidak ada anak kecil. Penduduk yang paling muda hanya aku dan Aresh."

"Cello, kenapa wanita itu dibunuh? Bayi itu sekarang ada di mana?" potong Freqiele. Dia sedikit terkejut dengan pernyataan itu. Sebelum mulutnya menanyakan hal lain, Cello cepat-cepat melanjutkan cerita.

"Aku tidak tahu detailnya. Kenapa perempuan itu dibunuh? Yang kutahu, dia seorang budak. Kata ibu Aresh, bayinya sudah dilenyapkan dari muka bumi. Mungkin dia bohong. Bayi itu aku."

"B-agaiamana mungkin? Itu alasan kamu tinggal di ruang bawah tanah?"

Cello bergumam. Dia tersenyum culas. "Setidaknya aku tidak perlu susah payah bekerja untuk makan."

Hati Freqiele seperti teriris. Napasnya tersekat. "Lalu?"

"Orang-orang pikir, wanita yang dibunuh sempat mengutuk keturunan penduduk Famquite. Para pria membenci wanita, mereka dijadikan budak nafsu. Semuanya berlangsung terus-menerus hingga menjadi tradisi."

Buah yang dari luar sudah busuk, ketika dikorek jauh ke dalam, itu akan terlihat semakin hancur. Sama halnya dengan Negara Famquite. Freqiele yakin, Zealire, Trapesium, dan Jocelyn tidak akan menduga hal ini. Apalagi Trapesium, pertanyaan konyolnya pasti banyak sekali.

"Kalau begitu, penduduk negara ini bisa punah," kata Freqiele. Wajahnya suram. Masih kurang percaya jika tidak ada bayi yang terlahir normal.

Cello mengangkat bahu. "Kenapa? Kamu ingin menyumbang bayi? Ayo!"

Pemuda itu mengaduh, kali ini kaki kirinya yang terkena pukulan mesra dari tongkat kayu biadab. "Jaga ucapanmu, Cello," desis Freqiele dengan mengayunkan tongkat di tangannya.

"Baik, Bung. Pikirkan caramu memerdekakan mereka dalam waktu ...."

"Empat hari lagi. Kamu sangat tidak konsisten memanggilku."

"Mau kupanggil apa? Sayang? Jadi, kamu sanggup menjalin hubungan panas denganku ... ah!" Kali ini Cello memijat jari tangan kirinya. Tulang seperti hancur dengan sensasi yang lebih dahsyat. "Bisa-bisa badanku biru semua setelah menghabiskan waktu semalam denganmu."

Freqiele hampir melayangkan tongkat itu lagi sebelum Cello menahannya. Pemuda itu menarik kayu yang masih dipegang Freqiele hingga dia ikut tertarik. Jatuh di pangkuan Cello. "Kamu yakin bisa melakukan dua hal itu dalam waktu empat hari tanpa bantuanku?"

"Memangnya kamu mau membantuku?" Freqiele mengangkat dagu menutupi rasa gelisah di hatinya.

"Ya, dengan satu syarat."

"Apa itu? Jangan meminta hal aneh!"

"Sudah kubilang, aku tidak bernafsu dengan dada datarmu itu." Freqiele langsung nenyilangkan lengan di depan dadanya ketika Cello menatap ke sana. "Aku punya hal yang lebih menguntungkan."

Freqiele berdecih keras, menandakan dia muak dengan segala penuturan lelaki di hadapannya. "Katakan, Cello."

"Kamu harus bernegosiasi dengan tuanmu untuk mengizinkanku ikut serta dalam perjalanan."

Mata Freqiele melotot. Bagaimana bisa dia melakukan itu? Sekapal dengan orang mesum sepertinya? Freqiele lebih menghawatirkan ketiga saudara barunya. Tidak bisa dibiarkan, tetapi ....

"Memangnya kamu tahu letak peta negara kedua?" Oh, tentu saja kalimat tersebut dilontarkan dalam nada penuh keraguan. Siapa pula yang percaya begitu saja pada lelaki mesum seperti dia?

Cello tersenyum kemenangan. "Tentu saja aku tahu." Freqiele harus pandai-pandai menghitung peluang dan kemungkinan yang ada. Jika dia salah memilih, bisa-bisa semuanya hancur.

***

Sampai jumpa, terima kasih.

***

Regard:
Erina_rahda
jurnalharapan
maeskapisme
Nitasw213
maylinss_
nurullhr
Salsarcsp

FAMQUITE: FREQIELE TSUFFIEL [SERIES 1]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang