EMPAT BELAS - obrolan pertama

491 47 11
                                    

Gadis yang hendak memasuki ruang inap disalah satu rumah sakit itu menengok ke belakang. Terdapat Daniel yang melipat kedua tangannya di depan dada, dengan jarak yang lumayan jauh.

"Kamu gak mau masuk?" tanya Embun hati hati.

"Nggak usah. Lo aja." jawab Daniel datar. Masih untung dirinya mau menemani gadis itu ke rumah sakit, masih mau meminta lebih?

"Yaudah. Kalau gitu aku masuk ke dalem dulu." kata Embun lagi. Ia sudah bertemu dengan dokter yang menjaga dan merawat Nenek Dessi, lagipula ini memang sudah menjadi jadwal Embun untuk melihat dan melepas rindunya kepada sang Nenek.

"Gak usah lama lama. Kalo lama gue tinggal lo di sini." kata Daniel masih ketus juga.

"Iya, aku janji gak akan lama lama." ujar Embun mulai masuk ke dalam ruang inap.

Terlihat dengan jelas seseorang yang terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit dengan alat alat yang menemaninya di sana. Tak kala suara yang ditimbulkan alat tersebut membuat nyeri hati kecil Embun. Rasa rindunya seakan menyeruak hebat berlari memeluk Dessi, sang Nenek tercinta.

Gadis dengan langkah kecilnya itu menatap Dessi dengan tatapan kosong namun terlihat sendu. Setelah duduk di kursi samping ranjang rumah sakit yang biasa ia gunakan setiap menjenguk Neneknya, jari jemari Embun bergerak menggenggam erat tangan Dessi yang nampak pucat dan lumayan dingin.

"Nek," lirih Embun menahan buliran air mata yang sudah hampir tumpah.

"Embun kangen banget sama Nenek. Embun kangen Nenek buatin sarapan, kangen Nenek marah marah karena perhatian sama Embun." kata Embun merasakan dadanya yang mulai sakit.

"Kenapa semua orang yang Embun sayang pergi satu per satu Nek? Papah sama Mamah pergi ninggain Embun. Bahkan Ronald, orang yang selama ini ada di samping Embun pergi tanpa kata pamit sama sekali."

"Embun kecewa sama Ronald Nek, kenapa dia ninggalin Embun dalam luka yang mendalam? Dia nggak mikirin Embun yang sakit hati, atau jangan jangan Ronald juga gak perduli sama—bayi kita?" kata Embun yang malah berfikiran negatif. Mungkin emosi, sakit hati, dan semua beban di hati serta fikirannya menumpuk menjadi satu.

"Kenapa kebahagiaan yang sesungguhnya gak pernah berpihak ke Embun, Nek? Ketika Embun menemukan seseorang. Tetapi kehidupan memisahkan kita dengan kejam!" gumam Embun masih menggenggam tangan Dessi erat.

Semua ini sungguh melelahkan, Embun lelah menjalani hari demi hari yang justru menjerumuskannya ke dalam jurang kesedihan.

"Sampai di sekolah. Embun harus mendapat perlakuan buruk dari teman teman. Apa karena sekarang Embun orang gak mampu? Atau karena Embun bener bener cewek pembawa masalah? Mereka selalu menyalahkan semua kejadian buruk yang terjadi, dan menyebutnya kalau itu semua karena kehadiran Embun, Nek." isak Embun semakin menjadi jadi.

Sudah menjadi kebiasaan. Di sinilah tempat Embun mengadu. Mungkin jika Dessi bisa berbicara dalam komanya. Ia akan mengatakan kalau dirinya tidak tega mendengar keluh kesah Embun.

Lalu berganti memeluk tubuh rapuh Cucunya yang menangis bergetar. Tetapi itu semua adalah sesuatu yang hingga saat ini belum terwujudkan.

Dessi masih memejamkan matanya. Memilih berdiam dalam alam bawah sadar, memilih mengistirahatkan seluruh tubuhnya dan membiarkan alat alat di sekitarnya bekerja untuk menahannya agar tidak berjalan ke rumah Tuhan.

"Dan sekarang Embun sudah jadi seorang istri, Nek. Walau pernikahan kita terpaksa. Hanya untuk menutup kesalahan yang Embun dan Ronald ciptakan."

"Kadang Embun merasa sayang sama anak yang ada di kandungan Embun saat ini, tetapi kadang Embun juga membenci dia Nek. Embun benci anak yang ada di perut Embun! Embun benci! Dia akan menghancurkan masa depan Embun sebentar lagi!" kata gadis tersebut mulai emosional.

Difficult [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang