14. Ilmu Sihir?

519 105 39
                                    


Sebelum masuk ke isi cerita, saya mau ucapkan terimakasih banyak bagi kalian yang udah mau nunggu cerita ini up, terus yang masukin ke reading list-nya, udah gitu yang kasih vote, dan terutama komentar!

Terimakasih.

Oh iya, dari banyak komentar, ada beberapa yang bilang alesan suka cerita ini karena latarnya sejarah. Iya bener, latar cerita ini sejarah. Tapi kalau di benak kalian ada yang berpikir ini cerita pure sejarah banget, kurang tepat, ya. Karena aku cuman ambil latar di tahun1920 dan beberapa properti yang mendukung untuk tahun segitu.

Jadi, Mohon Maap banget kalau ada hal yang gak tepat dengan sejarah yang aslinya, baik soal politik, budayanya, sosialnya, ekonomi bahkan soal ketepatan waktu. Aku pun sama-sama masih belajar, jadi kalau nemu salah, bilang aja ya di komen.

Ada sebagian yang memang asli seperti itu keadaannya riil. Ada juga yang hasil karanganku. Yang riil itu hasil aku browsing.

Oke, udah segitu curahan saya sebelum kalian baca.

Yo, mangga dibaca!

°°°°||°°°

Aku memasukkan buku usang dan amplop yang Malik berikan padaku ke dalam ransel kecil. Kemudian aku menatap Malik lagi, di sebrang sana dia melihatku sembari memamerkan senyumnya. Lantas aku pun tersenyum padanya sebagai tanda terimakasih karena Malik sudah banyak membantuku selama hampir dua pekan ini di Jakarta.

“Sekali lagi, terimakasih banyak, ya?”

“Ya, santai aja. Lagipula aku senang selama membantumu.”

Ramen yang kumakan ini rasanya tak terlalu pedas, aku pesan yang level middle. Aku tak suka makanan yang terlalu panas di lidah seperti Ramen dengan level yang katanya best seller ini. Namun, benar. Rasanya memang enak, rempah dan pedasnya terasa seimbang. Rempahnya begitu khas dan aromanya Jepang sekali. Pedasnya juga tidak membuat lidah terasa seperti terbakar karena ini menggunakan rempah cabe asli tidak ada campuran bahan lain.

“Ini enak! Kalau aku ada kesempatan untuk datang lagi ke Jakarta, aku mau pesan Ramen yang level pedasnya paling tinggi di sini.” Ucapku menggebu setelah mengunyah habis sesumpit mie. Belum puas sampai disitu aku menyendok penuh kuahnya, lalu menyeruputnya tanpa ampun.

“Haha.” Malik tertawa geli, mungkin aku makan seperti bukan seorang gadis anggun. “Kamu, kan, masih ada urusan di sini, masih ada dua hari lagi juga. Belum final, jadi gak perlu lah bilang seolah ini adalah perpisahan.”

“Iya sih, aku tau. Tapi tetap aja, sebentar lagi aku akan pulang.”

“Baiklah nona cantik.” Katanya sedikit bercanda.

Tiga puluh menit lewat aku habiskan untuk menikmati Ramen terenak yang pernah aku makan. Aku akui itu! Sementara Malik, masih setia duduk sembari menyentuh ponselnya dengan berlebihan. Ekspresi mukanya pun terlihat sesekali tegang lalu tak lama berubah senang, kadang ia mengumpat kadanag pula tertawa.

“Sudah selesai?” Tanya Malik setelah sadar peralatan makanku kosong dan sudah tersusun rapi di hadapanku. Malik memasukkan ponsel ke dalam saku celana chino-nya.

Yes, I am done!”

“Ok. Aku juga sudah selesai mengalahkan lawan virtual ku. Jadi, ayo kita pergi ke tempat itu.” Malik berdiri lalu memanggil salah satu karyawannya untuk membereskan meja dan tentunya, aku makan tanpa harus diberi bill. Menyenangkan!

Pintu kayu biru tua dengan kaca besar di tengahnya seolah tengah berhadapan denganku. Tulisan yang tergantung di tengahnya menunjukkan bahwa toko ini sudah tutup. Namun, hatiku seolah tergerak untuk mendekat ke pintu lalu mendekatkan wajah dan menangkupkan tangan di dekat alis. Mungkin saja Kakek Wira masih ada di dalam, atau bahkan ia tinggal disini.

Batavia 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang