9. Perjodohan

587 111 1
                                    

Sebelum baca mari tekan bintang di pojok kiri dulu kuy!😗

And,

Happy Reading!!!🥰🥰

___________________---------------__________________

"Aku lihat kamu seperti tidak suka dengan Fatma? Menurutku dia baik." tanyaku sesampainya di rumah. Kresna tak lantas menjawab pertanyaan, dia memilih menutup pintu dahulu lalu berjalan mendahului ku dan duduk di bale tempat aku makan singkong rebus yang empuk kala itu.

"Dia baik karena ada maksud tertentu." Kresna menjawab sambil melepas kedua sepatunya. Santai.

Aku mengernyit, "Maksudnya?"

"Aku tidak suka dengan perempuan yang dengan terang-terangan menunjukkan ketertarikan dia dengan lelaki. Padahal sudah jelas juga lelaki itu menegaskan jika ia tidak menyukai perempuan itu."

Dari penjelasan tersebut aku menarik suatu kesimpulan, "Oh, Fatma menyukaimu dan kamu tidak, begitu?"

"Memangnya kenapa? Aku sama sekali tidak melihat ada niat buruk dibalik sikap manisnya. Lagipula dia cantik, ibu mu juga selalu menerima dia dengan baik." Jujur, aku tidak mengerti dengan pola pikir lelaki ini. Gadis sebaik dan semanis Fatma dianggap memiliki niat buruk tersembunyi.

"Karena rasa suka itu tidak bisa dipaksa, Ayu." jawabnya telak. Lalu Kresna masuk ke kamarnya begitu saja. Apa dia marah?

••••

Dini hari aku terbangun dan tak berniat tidur lagi seperti kebiasaanku jika sedang libur di rumah. Kebiasaan yang selalu membuat ibu mendumel namun aku abai dengan memilih menarik selimut hingga ke leher dan kembali melanjutkan tidur.

Aku melihat Bu Lasmi sedang sibuk dengan tungku api atau alat tradisional yang terbuat dari batu yang di bagian depannya ada lubang untuk tempat kayu bakar dan diatasnya ada lubang juga untuk menaruh alat masak.

Aku duduk di samping Bu Lasmi dekat dengan tumpukkan kayu bakar yang telah dijemur. "Mau aku bantu, Bu?"

"Eh, Ayu! Kamu sudah bangun?" Dia menoleh sebentar lalu kembali menyusun empat kayu bakar kering. Kemudian dia menyalakan api dan mendekatkannya perlahan dengan kayu bakar tersebut. Perlahan api merambat menjadi besar dan seluruh kayu pun termakan oleh api.

"Iya, Bu."

Bu Lasmi berniat mengambil panci yang sudah terisi air, namun aku mencegahnya. "Biar aku saja." Lantas aku membawakan panci tersebut setelah mendapat anggukan beserta senyum khas dia.

Kemudian aku menaruhnya di atas tungku api. Bergantian, kini Bu Lasmi yang menaruh kukusan yang didalamnya ada beras yang telah dicuci bersih untuk dimasak. Aku tau cara memasak seperti ini dari rumah nenekku yang dulu masih punya tungku macam ini. Namun sekarang, zaman telah menggantikan proses ini menjadi lebih sederhana dengan alat elektronik dan nenek pun mengikuti. Tungku yang sudah tak terpakai pun lalu di bongkar dan diganti menjadi tempat meja makan keluarga.

"Fatma menyukai Kresna. Apa Ibu tau?" Perdebatan semalam membuatku ingin bertanya juga pada Bu Lasmi.

"Tentu. Ayahnya sendiri yang meminta Kresna menjadi mantunya sebulan setelah kepergian ayahnya. Saat itu Fatma langsung setuju sedangkan Kresna tidak demikian. Dia menolak dengan tegas namun halus, bahwa dia belum mau menikah."

"Apa semalam terjadi sesuatu?" tanya beliau dengan raut khawatir.

"Emm ... Aku bisa liat aja. Aku perhatikan Fatma seperti berusaha untuk dekat dengan Kresna tapi Kresna malah sebaliknya. Aku kasian dengan Fatma, aku tau dia tulus. Tapi Kresna seperti tidak mau melihatnya."

Bu Lasmi terkekeh, "Anak itu ...."

"Semalam, aku bertanya pada Kresna kenapa dia kelihatan seperti tidak suka dengan Fatma padahal menurutku Fatma itu baik. Eh, dia malah marah terus masuk kamar gitu aja."

"Dia juga bilang tidak suka dengan perempuan agresif dan rasa suka itu tidak bisa dipaksa." tambahku mengakhiri curhatan pada Bu Lasmi.

Menurutku, Bu Lasmi ini adalah tipe ibu yang sangat perhatian, lemah lembut, sopan, dan jangan lupakan senyumnya yang damai. Seakan membenarkan jika surga dekat dengan seorang Ibu. Dekat dengannya dan bisa ngobrol seperti ini sungguh menyenangkan, sifatnya yang keibuan membuat aku tidak tahan sendiri untuk memendam unek-unek. Aku jadi kangen Ibu ....

"Ayahnya itu teman baik Ayahnya Kresna. Mereka sama-sama merambah bisnis pertanian beras dan tebu. Keluarga Fatma itu baik sekali, Yu. Mereka masih ingat dengan kami. Buktinya Fatma selalu membawa beras tiap kali mereka panen. Seperti kemarin, dan itu berasnya yang tadi kita pasak." Bu Lasmi menunjuk dandang yang sudah mengepul, mengeluarkan asap tipis ke udara.

"Coba aja Fatma tidak kirim beras, mana bisa kita sarapan pake nasi. Kami biasanya makan nasi sehari dua kali, makan siang aja. Malam pun kadang cuma ibu aja yang makan. Katanya Kresna tidak lapar. Tapi ibu yakin dia cuma tidak tega kalau ibunya makan sedikit." jelas Bu Lasmi membuatku terenyuh.

Soal bersyukur dan semangat hidup ditengah keterbatasan mereka lah jagonya. Apalagi saat membicarakan hal tersebut, raut muka Bu Lasmi tidak menunjukkan sedikit pun kesedihan. Yang ada adalah senyum tanda syukur.

"Tapi kalau boleh berpendapat, aku sangat setuju Kresna dengan Fatma." ucapku penuh semangat.

"Boleh saja, Ayu." Bu Lasmi tertawa.

"Aku akan membuat mereka jadi dekat. Aku akan terus semangati Fatma untuk tidak mundur juga memberi dia beberapa saran yang udah pasti bakal berhasil, Bu. Buat Kresna ...." aku berpikir sejenak. "Aku akan buat dia mau pergi bersama dengan Fatma atau semacamnya yang membuat mereka dekat." ucapku memburu yang ditanggapi dengan anggukan mantap oleh Bu Lasmi. "Boleh saja. Terima kasih ya, Nak."

••••

Selesai dengan pekerjaan di dapur, aku berniat untuk membereskan bagian dalam rumah sementara Bu Lasmi menyapu halaman.

Langkahku terhenti saat Kresna keluar dari kamarnya. Aku tertegun melihat dia yang juga menatapku.

"Mau sarapan?" tanyaku berbasa-basi.

"Hari ini kita tidak perlu ke pasar, aku akan menyiapkan beberapa lukisan untuk pameran yang diadakan tiga hari lagi." Bener sekali, dia selalu abai akan pertanyaan basa-basi. Harusnya tadi aku diam saja menunggu dia yang bicara lebih dulu. Karena sudah jelas, jika dia menatap lawan bicaranya lebih dulu itu berarti dia akan menyampaikan sesuatu.

Sia-sia aku bertanya. Dumel ku kesal.

Setelah berkata demikian, Kresna berjalan begitu saja ke depan. Aku teringat sesuatu, sebuah rencana.

"Kresna tunggu!"

Orang yang ku panggil itu berhenti tanpa berbalik. Aku menghampiri Kresna, "Nanti biar aku antar sarapannya." ucapku diakhiri senyuman lebar.

Kresna mengangguk lalu melanjutkan langkahnya. Aku berbalik kemudian menunjukkan senyum dengan semirik khas bahwa langkah pertama dalam rencana akan aku lakukan.

///

Hayohh, Luna jadi mak comblang. Wkwk
Terus baca ceritaku ya. Jangan bosen!

Sha!

16 Agustus 2020

Batavia 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang