20. Buku Saku

404 90 15
                                    

Hmm, kali ini aku update cepat🥰.

Semoga senang dan puas....🤗

Maklum lagi gabut, wkwk

...__...

Dalam diam aku menerka sudah sampai mana tulisanku tentang Kakek Wira terbaca. Secepat mungkin aku tutup buku saku lalu mendorongnya, menyimpannya ke sisi meja beserta pena aku taruh diatasnya.

“Bukan siapa-siapa.” Sebisa mungkin aku berucap tenang.

“Jadi kamu senang menulis, Nak?” bu Lasmi memilih menyimpulkan.

Setidaknya aku bersyukur bukan Kresna yang mengintip. Andai saja Kresna yang membaca nama Kakek Wira, sudah pasti dia akan terus bertanya sampai aku kewalahan dan menyerah lalu terpaksa menjawabanya dengan jujur. Apalagi, dia sudah mulai curiga soal Kakek Wira yang dia temui di pameran saat hari terakhir.

Ah, aku jawab saja sekenanya, “Begitulah....”

Kentara sekali jika ibu sedang kebingungan namun aku segera pamit untuk menghindari pertanyaan Ibu yang bisa membuatnya curiga.

“Aku ke belakang dulu, Bu.”

Selesai berucap aku melenggang keluar kamar meninggalkan Ibu. Namun, aku teringat satu hal, bagaimana jika Bu Lasmi menceritakannya kepada Kresna dan semua kebingungan yang beliau rasakan? Semoga saja tidak begitu.

***

Keluar dari kamar mandi, samar-samar aku mendengar dua orang yang sedang bercakap. Bu Lasmi sedang menyambut kedatangan tamu perempuan dengan gaya biacaranya yang penuh dengan kelembutan. Dan suara perempuan itu aku sudah hapal betul, dia Fatma. Sudah lama aku tidak bertemu dengan dia. Aku pun menghampiri mereka yang ada di ruang tengah.

“Ini aku bawa sayur capcay lalu ada tempe goreng juga. Ini dari Ibu saya untuk keluarga Kresna atas keberhasilan Kresna dalam acara kemarin. Dengar-dengar, dia memenangkan lelang terbanyak?”

“Ah, benar. Kami juga sangat bersyukur.”

Dengan senang hati, Bu Lasmi menerima rantang yang di bawa Fatma. “Terima kasih banyak. Jadi, merepotkan.”

Fatma menggeleng, “tidak bu, kami tidak keberatan sama sekali. Lagipula, aku senang juga mendengarnya.”

Kemudian mereka berdua pun terkekeh, belum menyadari kehadiranku sepertinya. Mengambil langkah inisiafit, aku menyapa terlebih dahulu Fatma.

“Siang, Fatma!”

Dengan senyum sumringah Fatma memeluku alih-alih menjawab salam terlebih dahulu.  Tapi aku tidak mempermasalahkan itu, karena memang aku juga sesenang itu bertemu dengan Fatma lagi. Belum lama namun rasanya sudah rindu. Fatma adalah satu-satunya orang di zaman ini yang dekat denganku dan paling pas sebagai teman cerita. Usia kami tidak jauh berbeda dengan karakter yang hampir sama sehingga kami mudah mengakrabkan diri.

Aku balas memeluknya hangat dan kami akhiri pelukan kami dengan kekehan. Ibu yang melihat ini hanya menggelengkan kepalanya.

“Kalau lihat seperti ini, ibu jadi keinget waktu ibu masih remaja. Waktu belum menikah. Ibu juga punya teman dekat seperti kalian. Teman untuk saling cerita dan bercanda.”

Dan kami bertiga pun terkekeh bersamaan.

“Yasudah, kalian duduk dulu saja. Ibu ke belakang dulu.” pamit Bu Lasmi. Beliau pergi ke dapur sembari membawa rantang dan meninggalkan kami berdua di sini.

“Gimana kabar kamu Fatma?” tanyaku memulai. Lalu kami duduk berdampingan di bale.

Fatma yang mengerti dengan arti sebenarnya dari pertanyaanku langsung mengerling dan mengangguk antusias. “Tentunya aku baik-baik saja.”

Batavia 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang