39. Wira?

337 56 4
                                    

Gila-gilaaaaaaa! Aku lama banget gak update.
Minta maaf yang banyak sama kalian, nih. Kresna ngilang 3 bulan lamanyaaaa....
Abisnya gimana, 3 bulan kemarin tuh bener-bener melelahkan. Selesain Tugas Akhir terus sidang sampe urus penjilidan. Jadi gak bisa fokus lanjutin Batavia 1920, deh... huhuuuu.

Tapiiiiiii, sekarang kalian bisa baca ini. Moga puas sama bab ini. Moga kangen sama Kresnanya terobati. Kangen sama Maliknya juga moga lunas.
Sekali lagi mohon maaf.
Dan, selamat membaca.

...__...

8 Agustus 1922

Hai, Yu. Bagaimana kabar mu?
Setahun ini aku banyak mempelajari hal baru tentang bisnis. Cukup menyenangkan sekaligus melelahkan. Hampir setiap hari waktuku habis di toko dan bertemu dengan banyak orang yang membuat bisnis ku semakin berkembang. Aku juga mempunyai satu toko sembako baru yang bekerja sama dengan kawan baruku, dari bangsa Eropa sana.

Tahun ini juga,  jadi tahun yang sangat berbeda. Bagaimana tidak? Seminggu setelah aku bergabung dengan bisnis ayah, beliau sakit dan meninggal dunia. Semua berkabung, banyak yang kehilangan sosok dermawan dan ringan tangan macam dia. Banyak sekali orang dari bangsa kami ataupun rekannya yang berkulit pucat berkerumun di kediamannya saat hari pemakaman.

Baiknya, di Bulan yang sama kami sekeluarga mendapat anugerah istimewa terutama untuk kami, aku dan Fatma. Fatma mengandung.

Sudut bibirku terangkat, membayangkan kebahagiaan besar yang tengah mereka rasakan saat itu. Juga kesedihan Fatma karena kehilangan sosok yang sangat ia hormati. Aku turut berduka untuk itu.

Anak kami laki-laki. Tampan sekali dengan bibir mungil seperti Fatma dan hidung yang sama denganku. Dia lahir bulan lalu. Tapi sayangnya Ibu pergi setelah dia berjuang melawan sakit sampai dia bisa menimang cucu pertamanya. Iya, Yu, Ibu sudah tiada.

Ya Tuhan,

Kamu tahu, Yu? Ibu masih sempat menyebut namamu sehari sebelum kepergiannya dengan mata yang terpejam lemah. Dia bilang, “Ayu datang ke sini tidak, Nak? Dia bagaimana kabarnya?”

Aku menatap lurus ke depan, melihat pantulan wajahku sendiri di cermin oval yang berada di seberang kasur tidur. Menatap diriku sendiri yang pengecut.

Aku sendiri juga tidak tau.

Aku harap, senyum kamu selalu terbit dan selalu bisa melewati segala ujian dengan baik dalam hidup mu. Kamu perempuan yang selalu semangat, penuh percaya diri dengan hati baik yang sudah kamu miliki. Semoga selalu begitu.

Terima kasih, Yu. Atas segala optimismu yang berhasil membuat aku juga demikian, hingga aku bisa melihat sendiri kanvas dengan coretan dari tanganku  bisa sampai di negeri Hindia dan bisa memiliki sebuah galeri yang sudah lama diimpikan Ayah.

“Yu! Malik di depan.”

Suara ibu terdengar dari celah pintu, ia hanya memberitahuku lalu lewat menuju belakang rumah.

“Ngapain sih, pagi-pagi gini?” erangku dengan hembusan nafas kasar setelahnya.

Aku menutup lembaran terakhir buku ini. Kemudian, bangkit dari kasur lalu menyimpan buku catatan Kresna di nakas dekat dengan ponsel yang tengah di charger. Aku melangkah keluar kamar masih dengan baju kaos kebesaran dan rambut yang dicepol, tentu saja sudah mandi.

Batavia 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang