Aku masuk ke gubuk dengan nampan dan makanan di atasnya, tak lupa minuman hangat menjadi menu pertama di awal hari bagi Kresna. Sebuah menu sederhana yang di buat Bu Lasmi dan aku tadi cukup untuk tiga porsi. Nasi hangat dan lauknya telur dadar yang diiris menjadi sarapan termewah kali ini.
Kresna duduk menghadap ke pintu kali ini sehingga aku bisa melihat jelas wajahnya yang anteng dengan kanvas di hadapannya. Aku taruh dua piring dan dua cangkir air putih hangat yang masih mengepul halus di meja yang sebelumnya sudah aku singkirkan beberapa alat lukis. Suara bel sepeda saling sahut di luar milik warga desa yang bertani tebu saling bersapa dengan petani lain.
Aku memutar mata malas, "Hei? Kamu tak berniat berhenti?"
"Sebentar saja buat sarapan." tambahku.
Mata Kresna bergerak, menatap ku dengan bibir masih terkatup rapat. "Simpan dulu saja." Matanya kembali fokus dengan kanvas.
"Makan dulu saja." Aku berkata dengan sedikit memaksa, membuatnya tampak kesal namun memilih abai dan menurut.
Sekarang Kresna duduk di sudut meja makan dadakan ini. "Memang harus di paksa ya." Aku tarik kursi ke belakang dan duduk, bersiap untuk makan.
"Kamu kenapa?" Kresna mengernyit heran.
"Aku?" Merasa lucu dengan pertanyaan Kresna aku tertawa kecil.
"Aku cuma mau mencoba akrab saja dengan Tuanku ini." Aku topang dagu lalu tersenyum geli menatap Kresna yang masih menampakkan raut wajah herannya.
"Berhenti menatap ku begitu." Wajahnya kini berubah menjadi jengkel.
"Oke. Maap Tuan." Mendapat tatapan yang tak mengenakan, segera aku meralat perkataan ku barusan. "Eh, Kresna."
Seketika wajahnya berubah tak lagi jengkel, memaklum.
Di sela-sela makan, aku berinisiatif bertanya untuk memulai apa yang aku rencanakan tadi pagi dengan Bu Lasmi.
"Katanya makan nasi buat sarapan itu jarang-jarang ya? Apalagi pakai telur."
"Ya." Kresna menjawab singkat.
"Ini juga beras dari Fatma, kan? Dia baik ya. Udah gitu cantik pula." Setelah selesai bertanya demikian, aku telisik ekspresinya dan ... biasa saja.
"Mungkin, aku tidak begitu tau urusan dapur." Dia menjawab acuh tak acuh.
"Terus, menurutmu Fatma itu bagaimana orangnya?"
"Dia baik."
"Cantik juga, kan?" Tak menyerah, aku bertanya lagi. Kali ini, pertanyaan yang lebih intens.
"Maksudmu?"
"Ya Tuhan ... kamu tinggal jawab ya apa tidak saja susah." Aku ambil minuman hangat, meneguknya jaga-jaga agar lancar saat menjelaskan pertanyaan Kresna agar tidak tersendat emosi sendiri.
"Kamu yakin tidak tertarik dengan Fatma? Dia itu perempuan baik, aku bisa liat, kok. Terus cantik juga dan keluarga kalian sudah saling kenal, kan? Jadi, apa lagi?" Lancar tanpa jeda, aku harap dia paham dengan maksudku.
"Jangan berusaha menjadi penengah antara aku dan Fatma." tegasnya telak membuatku tercengang, eh ... dia tau rencana ini, apa terlalu kelihatan kah?
"Enggak aku tidak bermaksud demikian, aku hanya berpendapat saja. Apa itu salah?"
Kresna memakan suapan terkahir dengan terburu lalu bangkit, namun sebelum benar-benar kembali ke kanvasnya dia berkata, "Aku selesai. Tolong bawa piringku ke dalam sekarang!"
Siapa pun paham dengan maksud dari perkataan Kresna. Dia berniat mengusir ku namun dengan cara yang halus. Tapi tetap saja rasanya lebih jengkel ketimbang diusir oleh Mba Riri.
Susah sekali bicara dengan orang kikuk macam dia! Kenapa bisa Fatma begitu menyukainya? Memang benar cinta itu buta.
Dengan sangat terpaksa aku menyudahi sarapan ku meskipun masih tersisa beberapa suap lagi tapi nafsu makan pagi ku seketika hilang.
Aku tumpuk dua piring ini jadi satu lalu menaruhnya di nampan begitu juga dengan kedua gelas. Kemudian, aku pergi ke luar tanpa pamit atau meliriknya sedikit pun.
••••
Selesai mencuci apa yang aku bawa tadi di belakang, aku kembali ke tengah rumah kali ini aku akan beres-beres di sini. Meskipun aku senang bermalas-malasan saat libur tapi jangan salah aku juga pandai membuat rumah lebih rapi. Itu aku lakukan kalau aku sudah bosan diam dan hanya menggulir handphone.
"Pagi Ayu!"
Seseorang tengah berdiri di ambang pintu masuk dengan senyumnya yang khas. Gadis cantik Betawi yang baru aku bicarakan dengan Kresna yang tak lain lelaki pujaannya hingga membuat aku jengkel.
"Pagi juga Fatma." Aku balas dengan ekspresi serupa.
"Mari masuk, duduk!" titahku.
"Terimakasih." Fatma duduk di bale. "Aku bantu ya?"
"Tidak usah. Aku bisa kok. Kamu duduk saja." Aku menjawab dengan meyakinkan. Kemudian Fatma hanya mengangguk.
Aku menghampiri bupet lalu mengelap dengan lap basah dan dilap lagi dengan lap kering untuk menghilangkan debu agar tidak berterbangan sehingga aku bersin. Beralih ke lukisan diatasnya aku hanya mengelus pelan dengan lap kering namun hanya piguranya saja.
"Kresna di gubuk lagi ya?" tanya Fatma yang membuatku berbalik menatapnya.
"Iya, tadi dia bilang akan menyelesaikan beberapa lukisan untuk dipamerkan nanti. Tiga hari lagi jadi harus segera."
"Wah ... kamu benar-benar asisten yang handal ya!" Fatma terkekeh dan Suaranya dibuat seakan sedang terkagum. "Sampai tau agenda Tuannya." Fatma terkekeh lagi, kali ini lebih lepas.
Aku ikut terkekeh karenanya. "Ya, begitulah."
"Apa Kresna banyak bicara kalau dekat denganmu?" Aku berbalik dan menangkap sorot yang menunjukkan rasa ingin tau.
"Seperti kelihatannya saja. Dia itu lelaki pendiam. Tidak terlalu peduli dan susah diajak bercanda. Jadi, kita kalau pun berbicara hanya membahas urusan kerjaan saja. Memangnya kenapa?" jelasku yang diakhiri dengan pertanyaan kepo juga.
"Aku pikir dia berbeda kalau dekat denganmu, Ayu. Lebih hangat mungkin."
"Tidak. Justru aku sendiri kadang merasa ikut kaku juga kalau mau bertanya sesuatu atau memulai obrolan." jelasku.
"Kita tidak pernah membahas sesuatu yang santai. Tenang saja." tambahku lagi.
"Aku hanya mau tau saja." dia tertawa meringis.
Tak tahan melihat wajah merahnya, aku tertawa tertahan. "Kamu cemburu kalau aku bisa bicara bebas dengan Kresna?"
"Eng-enggak kok!" Fatma menjawab dengan gelagapan dan aku makin semangat menggodanya. Astaga.
"Aku akan membantu kamu untuk dekat dengan Kresna?" Salah satu alisku bergerak naik turun sementara orang di hadapanku ini alisnya bergerak menyudut ke dalam.
"Caranya?"
"Pelan-pelan aku akan menjelaskan kalau kalian itu cocok."
"Memangnya kita cocok?" tanyanya sedikit insecure.
"Kamu harus yakin dong! Pokonya aku dukung sebagai teman yang baik. Bukan begitu?" Aku bergerak menghampiri Fatma, ikut duduk di sampingnya dan mengelus pundaknya dengan tangan aku yang bebas dari lap.
"Tapi aku rasa dia menyukai mu, Ayu ...."
////
Hmmm masih santai ya. Sabar .... ini baru mau menuju tahap klimaks.
VOMENT jangan lupa ya!!! heheee
Sha!
2 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Batavia 1920
Mystery / ThrillerTAMAT (PART MASIH LENGKAP)‼️ /// Luna Ayunda\\\ Saat itu aku sangat senang sekali. Mungkin aku adalah satu dari seribu orang yang beruntung di bumi ini karena mendapatkan hal paling ajaib semur hidupku. Bisa bertemu dengan seniman hebat jalanan di k...