15. Bangunan Merah dan Kisahnya

531 102 51
                                    

Hai, apa kabar semuanya?

Semoga selalu baik-baik saja, ya.

Alhamdulillah saya bisa update. Kali ini ceritanya lebih panjang, moga gak membosankan dan kalian tetap suka.

Selamat membaca dan bantu temukan typo yang mungkin sedang bertebaran, siap?

****

“Ibu akan selalu mendoakan kalian yang terbaik.”

Aku dan Bu Lasmi berhenti di ambang pintu, dia menyerahkan rantang kemarin yang sudah diisi dengan nasi dan lauk yang baru. Katanya ini sayur capcay dan tahu goreng. Aku pun menerimanya dengan senang hati, “terimakasih, bu.”

“Sama-sama. Jangan lupa dihabiskan.”

Aku menyalaminya dan dibalas dengan usapan lembut di bahuku. “Pasti, bu, akan kami habiskan.”

Setelah itu, aku bergegas menuju kretek, di mana sudah ada Kresna bersiap menjalankannya. Bagian bawah lengannya sedikit basah, juga pada bagian ujung sepatunya terdapat percikan kecil air bekas memandikan kuda yang dipinjamnya.

Padahal ingin sekali membantunya bersiap dengan kuda dan kretek tapi tak ada seorang pun yang membangunkanku. Bu Lasmi bilang, biar saja itu menjadi tugas Kresna, jadi aku hanya membantu membereskan rumah dan dapur lalu beralih menuju gubuk untuk membawa lukisan ke kretek yang lagi-lagi sudah dipisahkan rapi dengan tali pengikatnya untuk tiap tumpuk kanvas. Aku hanya tinggal mengangkutnya saja.

Semilir angin menghembus pelan membawa udara sejuk pagi hari, aku tersenyum samar. Ingat momen seperti ini setiap akan pergi ke sekolah pada pagi hari dan Ibuku berdiri di ambang pintu sambil tersenyum dan terkadang melambai. Seseorang di ambang pintu sana mengingatkan aku kepadanya. Kerinduan akan rumah kembali kurasakan detik ini.

Kresna menarik tali kusirnya, perlahan kendaraan ini berjalan dengan kecepatan sedang melewati pagar rumah. Aku melihat ada beberapa petani yang membawa peralatan bertani seperti cangkul di pundaknya, atau membawa perbekalan serta peralatan dengan dibantu oleh sepeda. Mereka menyimpannya di belakang dengan keranjang anyaman yang besar. Ada juga yang mendorongnya dengan gerobak.

Aku anggukan kepala sebagai arti sapaan kepada mereka yang tak sengaja menoleh ke arahku.

Dari arah berlawaanan, aku melihat ada seseorang yang ku kenal baik. Otomatis aku mengembangkan senyum begitu melihat dia juga tersenyum ke arah ku. “Fatma!”

Aku melambai kegirangan. Fatma mempercepat langkahnya. Namun, aku sama sekali tak merasa ada tanda-tanda Kresna akan berhenti. Wajahnya biasa saja, seperti tak menyadari kehadiran Fatma. Padalah dia pasti melihatnya.

“Bisa berhenti sebentar?” tanyaku bersemangat seolah mendapat energi lain saat bertemu dengan seseorang yang berpengaruh dengan hidupmu, seperti sahabat.

“Cukup dari sini, tidak perlu turun.” Dia berbicara tanpa menoleh. Nadanya sedikit memerintah.

“Memangnya kenapa?” tanyaku penasaran, namun Kresna tetap bergeming dengan sorot lurus ke depan.

Menyerah dengan situasi, akhirnya aku iyakan saja dalam hati. Tanpa perlu menjawabnya.

Kretek berhenti begitu Fatma tiba tepat di samping aku duduk. Kami berpelukan sebentar. Senyum manis Fatam tersungging di wajah riangnya. “Ayu, kamu baik, kan?”

“Iya, aku baik. Kamu sendiri?”

Fatma balas dengan anggukan, “Semangat, ya! Semoga hari ini adalah hari yang baik untuk kamu.”

Ada yang tak biasa. Fatma seperti tengah menghindari menatap Kresna. Sedari tadi ia hanya fokus pada diriku saja. Biasanya ia berusaha untuk sekedar mendapatkan perhatian dari Kresna meskipun itu hanya berupa lirikan sepersekian detik saja. Mau itu dengan menyapanya, bertanya hal penting atau hanya dengan senyuman yang tulus dari kejauhan. Dia kenapa?

Batavia 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang