12. Ada Apa dengan Kresna?

540 109 14
                                    

Rasanya memang tidak ada yang lebih nikmat selain merebahkan badan diatas kasur yang empuk dan nyaman, apalagi dengan kondisi badan yang lelah setelah berkegiatan di siang hari. Ya, meskipun tidak seempuk yang aku bayangkan. Ini hanya bale dengan kasur diatasnya lalu satu bantal dan kain batik untuk selimut. Tadi siang, baru saja aku ganti kain putih sebagai alas tidur dengan kain batik baru dengan warna dasar olive bercorak burung dan sulur pemberian dari Fatma.

Kegiatanku selama tiga hari ini lumayan sibuk mengurus rumah dan memasak juga mencuci. Cukup lelah tapi senang juga karena aku bisa belajar banyak terutama soal memasak. Bu Lasmi cukup telaten mengajari ku memasak, dengan sabar dia sama sekali tidak merasa risih atau terganggu saat aku terus bertanya soal bumbu yang sebelumnya aku awam sekali. Berbeda dengan ibuku, dia pasti menyuruhku pergi karena dia tidak suka diganggu saat memasak.

Aku berbalik menyamping memandang ke arah jendela yang terbuka. Langit Jakarta di zaman ini begitu bersih, terlihat taburan bintang gemerlap dan bulan sabit kekuningan dengan lengkungannya. Karena di zaman ini, belum banyak polusi udara.

Namun, yang terlihat di sana adalah sekelumit pertanyaan dan keadaan yang tak ku mengerti dengan semua yang terjadi saat ini.

Pertama, soal kakek tua itu. Kemungkinan besar dia hidup di masa ini karena beberapa waktu lalu aku bertemu di toko miliknya dan dia berkata hanya ingin membantu aku untuk menemui narasumber. Tapi aku merasa itu tidak cukup untuk menjadi alasan, aku perlu penjelasan lebih. Apa dan bagaimana?

Aku harus menemui kakek itu lagi di toko kemarin, mungkin setelah acara pameran selesai.

Kedua, lukisan wanita tadi! Kresna tidak mengakui yang terlukis di sana adalah diriku. Padahal aku yakin sekali jika wanita itu adalah aku sendiri. Aku ingat betul kejadian itu saat bersama anak lelaki Belanda di perumahan elit  bangsa mereka. Lalu mengapa dia berbalik badan saat aku bertanya tadi di gubuk. Pria aneh!

Menarik kain batik hingga ke leher agar menutupi angin malam yang menelisik dingin dari jendela. Baru saja aku hendak terpejam, tiba tiba suara gorden pintu kamar berbunyi ulah seseorang yang menyibaknya paksa. Karena itu aku berbalik dan lantas terduduk.

"Tidur cepat! Besok kita harus bersiap pagi." Setelah itu, Kresna berbalik begitu saja tanpa berucap lagi.

Sejak kapan dia berdiri disitu?

Aku bergeming, menahan degup jantung yang tiba-tiba berisik.

••••

Keesokannya, seperti yang dikatakan Kresna kami berangkat pagi hari. Sebelum matahari terbit, mungkin sekitar pukul 06.30. Aku membatu Kresna menata beberapa lukisan yang hendak dipamerkan ke delman sewaan.

"Sudah selesai," ucapku memberitahu Kresna.

"Naiklah!" Titahnya.

Aku naik di belakang menjaga lukisan yang kami bawa agar aman dan Kresna duduk di depan sebagai kusir. Dia menyewa hanya delamannya saja tidak dengan sang pemilik yang tak lain adalah teman dekat ayah Kresna. Aku baru tau setelah diceritakan oleh Bu Lasmi kalau delman ini milik rekan kerja ayahnya dulu, pantas saja dia semudah itu memberikan kepercayaan pada Kresna untuk meminjam delman beserta kudanya.

Keempat roda pun berputar tatkala kuda melaju setelah mendapat tarikan perintah dari Kresna. Kurasa dia cukup mahir mengendarai delman.

Badannya duduk tegap menghadap depan. Pandangannya fokus sekali dengan rahangnya yang tegas membuat dia begitu keren dari sudut samping aku memandangnya.

Batavia 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang