"Ini bagus." Ansell memuji lingerie hitam yang dikenakan Briana, menyentuh di bagian pinggang gadis itu. Salah satu tangannya bergerak mengusap pakaian minim berbahan sutera itu dengan lembut. Ansell menarik Briana agar duduk di atas pangkuannya.
"Ini terlalu terbuka." Briana berusaha menarik bagian bawah lingerie itu agar menutupi bokongnya. Briana merasa sangat tak nyaman. Pakaian sialan ini hanya menutupi sedikit saja bagian tubuhnya. Selebihnya berpotongan rendah di mana-mana, di bagian tertentu rancangannya dibuat aneh. Seperti sengaja untuk menggoda.
Kening Briana berkerut. Ansell telah menontonnya berganti lingerie sejak satu jam yang lalu. Lebih dari delapan lingerie telah ia tunjukan di hadapan Ansell. Ada rasa bangga juga gugup di waktu bersamaan. Tatapan Ansell yang datar dan dingin membuat Briana gugup. Namun, entah kenapa dia merasa bangga ketika Ansell memujinya.
"Aku menyukainya." Ansell menyentuh bagian atas Briana, menyingkirkan talinya, mempertontonkan salah satu dada Briana dengan sempurna.
"Ansell."
Briana menatap suaminya dengan pipi merona. Ia berusaha menghindari sentuhan bibir Ansell. Dadanya telah dipenuhi bercak-bercak merah karena ulah Ansell. Pria itu seakan tak pernah bosan. Ansell terus menerus menyentuhnya. Briana baru saja merasakan istirahatnya untuk mencoba pakaian ini.
Di manapun dan kapanpun. Briana tak pernah mengerti; apa di pikiran tiap pria selalu pada selangkangan.
Briana berusaha bangkit dari pangkuan Ansell mendengar ponsel berdering. Tapi pria itu sepertinya tak berniat melepaskannya, Ansell menahan pinggang Briana dengan lengannya, memeluknya erat dan menyimpan kepalanya di pundak Briana.
Meski salah satu tangannya sibuk dengan ponselnya, berbeda dengan tangan kanannya yang sibuk menyentuh dada Briana. Ansell mengecup rahang Briana sesekali, lalu kembali menantikan panggilan yang sempat tak diangkatnya. Dari temannya, Jacari Rivera.
"Halo? Ada apa kau meneleponku? Tumben sekali." Tanpa berbasa-basi Ansell membuka suaranya.
"Hai, Bro. Lama tak menghubungimu. Kudengar kau sudah menikah. Kenapa kau tak mengundangku?"
Ansell menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Briana, menatap gadis itu tanpa ekspresi sebelum menjawab. "Hm ... Bisakah kita membicarakan tujuanmu saja?"
Jacari Rivera terkekeh hambar di seberang sana. "Aku akan menikah. Sepuluh hari lagi. Besok. Aku akan mengirimkan undangannya padamu."
Senyum Ansell terlukis lebar, pria itu tak menyadari Briana memperhatikannya. "Roxanne-mu itu, huh?" godanya yang dibalas Jacari dengan gelak tawa.
"Yups. Datanglah, Bro. Aku menantikan kehadiranmu."
"Oke. Akan kuusahakan." Ansell berdeham pelan. "Sampai jumpa."
"Kenapa terburu-buru sekali?"
Tanpa sengaja Briana melenguh keras merasakan Ansell menggigit lembut lehernya.
"Wow! Baiklah. Aku tak 'kan mengganggu pengantin baru. Sampai jumpa."
Setelah sambungan telepon terputus, Ansell mendorong tubuh Briana ke atas ranjang, kemudian menyusulnya. Pria itu mencium Briana dengan tak sabaran. Cukup lama Ansell menahan gairahnya, dia merasa tak sabar untuk melepasnya sekarang juga. Tanpa memberikan waktu bagi Briana untuk bernapas, Ansell terus menciumnya.
Tiga minggu telah berlalu, Briana mulai berani membalas sentuhannya, gadis itu tak ragu lagi seperti sebelum-sebelumnya. Gadis itu mulai belajar banyak seperti apa yang Ansell inginkan. Seperti siang ini, Ansell yang meminta Briana agar mencoba lingerienya.
"Kau ingin mandi?" Ansell melepaskan kaosnya sembarang. Briana masih menarik napas sedalam-dalamnya. Gadis itu hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
Ansell kembali mencium bibir Briana lebih dalam. Kali ini seraya menggodanya; meremas lembut payudara Briana.
"Tadinya, aku berniat memintamu bergabung." Ansell menekan bibirnya lebih dalam.
Briana melingkarkan lengannya di pinggang Ansell. Jemarinya bergerak melepas ikat pinggang Ansell, menyusul dengan menarik lepas celana jinsnya. Ansell yang memintanya seperti ini. Katanya, ketika Ansell menciumnya cukup lama, maka Briana harus melepaskan apapun yang melekat di tubuh pria itu. Ansell ingin Briana menyentuhnya di mana-mana, dan jujur saja, Briana senang melakukannya.
Briana menurunkan sentuhannya, mengusap inti pria itu yang sedari tadi menekan pahanya. Ia melingkarkan salah satu kakinya di pinggang Ansell, berniat memasukan inti pria itu, namun....
"Tidak di sini, Briana." Ansell menahan pergerakan Briana. "Oh ya Tuhan...." Ansell mendesah keras merasakan dirinya bersentuhan dengan istrinya secara langsung. Ini kian menyakitkan.
"Ikut aku," ajaknya yang dituruti oleh Briana.
Ada satu hal yang membuat Ansell sadar bahwa rasanya memiliki istri seperti ini. Seperti ada yang melengkapi. Seandainya Kathleen dan Sebastian tak pergi malam itu. Mungkin sangat menyenangkan berkumpul bersama mereka. Ansell mendorong tubuh Briana ke dalam bilik shower, membiarkan tubuh polos gadis itu basah.
Ansell menyusul dengan senyum di bibirnya. Betapa dia masih membenci Briana. Tapi di satu sisi Ansell juga sangat menginginkannya.
"Aku sudah mandi Ansell." Briana mengusap tubuhnya yang basah terkena cipratan air.
Ansell mengabaikan protes Briana. Ia bergabung ke dalam bilik shower. "Kita telah berada di sini selama dua minggu." Ansell menyusuri leher jenjang Briana dengan bibirnya. "Apa kau belum merasakan tanda-tanda kehamilanmu?"
Briana mengerjapkan matanya mendengar ucapan Ansell. Raut wajahnya berubah suram. Briana nyaris melupakan posisinya di sini. Ia mengusap air yang mengalir di wajahnya. Tiba-tiba saja rasa berdentum di kepalanya kembali muncul. Briana berusaha menopang tubuhnya dengan mencengkram pundak Ansell. Penglihatannya mulai berkunang-kunang. Briana meringis kesakitan sebelum pada akhirnya kehilangan kesadaran.
Penyakit itu muncul lagi.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Reality (END)
Romance[SEQUEL STOLE HIS HEART] 21+ Setelah kematian Kathleen Riamos, hidup Ansell Millian berubah. Dia seakan tak bernyawa. Dingin tak tersentuh. Meski senyum terlukis di bibirnya, semua orang tahu hatinya beku. Ansell Millian berjanji tak akan mengenal c...