BAB TIGA

17.2K 1K 16
                                    

A/N : Ini adalah novel pendek yang tergabung dalam The Millian's Love Story. Cerita ini sequel dari Stole His Heart, tapi bisa dibaca secara terpisah.

Re-post update satu minggu sekali, setelah ending akan dihapus, untuk versi full sudah tersedia di Google Play.

***

PAGI itu Camryn Millian menyambut Ansell dan Briana dengan sumringah. Wanita itu meminta Briana agar duduk di samping Ansell. Briana yang merasa tak nyaman mencoba menolak. Dia telah menarik kursi lainnya ketika Camryn menariknya kembali.

Tatapan dingin Ansell tadi malam, membuat Briana sadar diri bahwa ia memang tak pantas. Ansell memang membencinya. Pria itu tak menginginkan pernikahan ini sama sekali. Briana menghembuskan napasnya lelah. Ia melirik ke arah Camryn yang terus berceloteh.

Camryn terlihat senang dengan pernikahan Ansell; Ansell tetap datar;  dirinya tersakiti di sini. Tapi, seandainya Briana menolak perjodohan ini kemarin, dia akan dianggap sebagai gadis yang tidak tahu terima kasih. Senyum lebar Camryn membuktikan bahwa mungkin ... Inilah satu-satunya jalan agar Briana sedikit bisa membalas budi wanita itu.

"Aku ingin segera menimang cucu." Saat itu juga Ansell terdengar tersedak makanannya, sedangkan Briana hanya tertegun. Menimang cucu?

Briana tersenyum sedih dalam hati. Ia tak menjawab apa pun. Briana mencoba menelan sarapannya pagi ini. Meski rasanya begitu hambar dan pahit, sangat sulit untuk melewati tenggorokannya.

Ia teringat tadi malam. Briana terpaksa tidur di sofa karena Ansell tak ingin tidur satu ranjang. Tadinya Briana berniat tidur di kamar samping. Namun karena keluarga Millian masih ramai, dan Briana tak mungkin keluar begitu saja, Briana memutuskan untuk tidur di sofa saja.

Badannya terasa pegal-pegal pada saat dirinya baru membuka mata. Terutama di bagian lehernya. Mungkin karena posisi tidurnya kurang nyaman. Briana menyuapkan bacon ke dalam mulutnya, mengunyahnya pelan-pelan. Ia melirik Ansell melalui sudut matanya. Raut wajah pria itu tak terbaca. Tetap seperti itu. Sejauh ini, dia hanya menampakan wajah dingin dan datarnya.

Pandangan Briana turun ke bibir Ansell. Pipinya memerah seketika. Tiba-tiba saja bayangan ciuman mereka setelah mengucapkan janji kemarin terlintas. Ciuman itu hanya singkat dan terkesan terpaksa, tapi Briana tetap menghangat dan merona.

"Kenapa kalian hanya diam saja?" celetuk Keana Millian, istri dari Carlos Millian. Wanita cantik bermata cokelat itu terlihat tak senang. "Ibu meminta kalian agar segera--"

"Briana tak ingin terburu-buru," potong Ansell, dengan senyum merekah di bibirnya. Dia sempat menyenggol Briana dengan pelan.

"Ah i-iya." Briana mengangguk setuju walau kaku.

"Usiaku tak lagi muda, Briana." Camryn memprotes keputusan Briana--tidak lebih tepatnya ini keputusan Ansell--bibir wanita paruh baya itu mengerucut. "Kau lihat? Keriput nyaris memenuhi wajahku."

Rasa tak tega itu kembali muncul. Briana menelan ludahnya dengan susah payah. Ia tak dapat melakukan apa pun, tidak karena Ansell lebih berhak di sini.

"Kami akan berusaha kalau begitu." Briana tersentak merasakan usapan Ansell di kepalanya. Ia meliriknya hati-hati. Ada kilatan benci di mata pria itu meski bibirnya tersenyum. "Benar, kan, Sayang?" Ansell menekankan ucapannya.

Briana membalas senyuman Ansell. "Iya, benar."

Camryn terkekeh kecil. "Ini, hadiah dariku dan ayahmu, Ansell." Kedua mata Briana membulat melihat tiket pesawat ke Perancis. "Untuk dua minggu ke depan," bisiknya diiringi kerlingan menggoda.

Briana merasa kepalanya berputar saat itu juga. Rasa makanan di hadapannya bukan hanya hambar, namun perutnya terasa dikoyak paksa, nafsu makannya benar-benar hilang. Briana menatap Ansell dengan seksama. Ia rasa ... Pria itu akan menolak tiketnya.

Dugaannya salah, Ansell dengan santai menerima tiket tersebut. Senyumnya tampak merekah lebar.

"Kami akan pergi besok kalau begitu," ucap Ansell santai. Seperti tak ada yang perlu dipermasalahkan, Ansell kembali menyantap makanannya.

"Kalian harus membawa 'oleh-oleh' untuk Ibu," kata Carlos kali ini. Pria itu tersenyum nakal.

Oleh-oleh?

Kening Briana berkerut. Tentu saja jika mereka pergi Ansell akan membeli apa pun. Pria itu pasti tak 'kan melupakan hadiah untuk Ibunya. Briana mengangkat sebelah alisnya kebingungan melihat Keana yang terkekeh. Adakah yang salah?

"Briana memang sangat polos ya?" Keana menyimpan sendok di tangannya. "Oh iya, kau harus melihat hadiahku nanti."

Memang Briana tak mengerti apa yang Carlos dan Keana bicarakan. Apakah hal itu salah? Briana melirik kembali ke arah Ansell. Pria itu juga tengah menatapnya. Tatapan Ansell menyiratkan hal yang tak Briana mengerti, seperti memerintah.

"Jemputannya sudah datang," ucap Ansell, membuat Briana akhirnya mengerti bahwa pria itu memintanya agar bangkit.

"Kalian begitu terburu-buru?" Camryn mengikuti Ansell dan Briana yang bangkit. "Sarapan Briana belum habis, Ansell--"

Briana segera bangkit ketika Ansell menarik tangannya. Cekalan yang nyaris menyakitkan. Briana menahan dirinya agar tak meringis, gadis itu hanya menggigit bibir bawahnya pelan.

"Briana sudah kenyang. Benar begitu?" Ansell mempererat cekalannya. Briana pada akhirnya mengangguk.

Sudah kenyang?

Briana baru saja memakan tiga suap... Ia terpaksa mengikuti Ansell berpamitan pada keluarga Millian, mengekori pria itu masuk ke dalam limusin hitam yang telah menunggu. Pada saat pintu tertutup rapat, Ansell merobek-robek dua tiket pesawat yang Camryn berikan. Pupil mata Briana membesar melihatnya.

"Ansell ... apa yang kaulakukan?" bisiknya tercekat. Rasa sesak itu langsung memenuhi rongga dadanya.

Kenapa Ansell merobek tiketnya?

"Berada di dekatmu saja aku sudah muak, Briana. Apalagi menghabiskan banyak waktu denganmu."

TBC

Unexpected Reality (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang