BAB ENAM

14K 905 14
                                    

A/N :
VERSI FULL TERSEDIA DI GOOGLE PLAY

***

TENGAH malam, Briana terbangun karena rasa haus yang menggerogoti tenggorokannya. Gadis itu melirik gelas di atas nakas. Tampak kosong. Tak ada sedikitpun air di sana. Briana menghela napas kemudian terpaksa bangkit.

Briana mencepol asal rambutnya lalu menatap bayangan dirinya di cermin. Decakkan halus lolos dari bibirnya. Sial. Dia tak mungkin pergi dengan pakaian minim ini. Briana menutupi tubuhnya dengan selimut. Lebih bodoh lagi jika Briana mengenakan selimut ke luar.

Tapi Briana tak memiliki pilihan. Ia melirik sekitarnya, mencari-cari apapun yang dapat ia kenakan. Pakaian yang ia gunakan tergeletak di lantai. Terlihat kotor dan penuh noda. Briana mengerucutkan bibirnya tak senang. Tak ada jubah mandi, hanya ada sehelai handuk, lebih baik dibandingkan ia pergi dengan pakaian kekurangan bahan ini.

Briana melilitkan handuk ke tubuhnya. Ia berlari kecil keluar dari kamarnya. Melangkah mengendap-endap menuju dapur seperti maling. Gadis itu duduk di kursi bar setelah mendapatkan segelas airnya. Briana menenggaknya hingga tandas.

Rasa lega langsung memenuhi dadanya. Briana menghela napas panjang. Sekali lagi, ia melirik pakaian yang ia kenakan. Lingerie sialan yang kekurangan bahan. Briana mendengus tak senang. Ketika membuka kopernya, ia tak mendapatkan apa pun di dalam sana selain sepuluh potong lingerie. Pakaiannya seakan hilang entah ke mana.

Bukan menghilang, sepertinya sengaja Keana melakukannya karena Briana mendapati sepucuk surat dari wanita itu. Diselipkan tepat di kopernya. Briana tak habis pikir, sebenarnya apa fungsi pakaian minim ini. Keana bilang ini pakaian tidur.

Ini sama sekali tak membantu.

Briana kembali menuangkan air ke dalam gelasnya. Ia melangkah mengendap-endap menuju kamarnya. Melewati ruang tengah, gadis itu tertegun mendengar suara aneh. Seperti suara desahan. Briana menyipitkan matanya, mencoba memperjelas penglihatan.

Ansell tak ada di apartemen, seingat Briana pria itu baru saja pergi beberapa jam yang lalu. Alasannya masih sama; muak melihat Briana.

Briana bergidik. Jadi siapa itu? Ia meraba-raba sekitarnya, mencari saklar lampu. Dan ketika telah menemukannya, Briana segera menekannya keras.

Suasana langsung berubah benderang. Kedua matanya seakan dibuka lebar. Suara desahan itu ... Bukan apa-apa, itu berasal dua insan yang berada di hadapannya saat ini. Ansell dan seorang wanita berpakaian minim. Keduanya terlihat bercumbu. Sang wanita duduk di pangkuan Ansell dengan manja. Ansell memeluk pinggang wanita itu dengan erat, salah satu tangannya bergerak ke sana kemari menyentuh apapun yang dapat dicapainya. Briana merasakan kepalanya berdentum.

Briana menjatuhkan gelas di tangannya tanpa sadar, menyebabkan bunyi nyaring yang menarik perhatian Ansell. Kedua insan itu langsung saling menjauh. Air mata nyaris terjatuh dari pelupuk matanya.

Dia masih mematung, terpaku di tempatnya, menatap Ansell dengan nanar.

"Kau pulanglah Stella," bisik Ansell pada wanita yang tadi duduk di atas pangkuannya.

Wanita itu memberenggut, "Kau bahkan belum membuka pakaian--"

"Kubilang pulang," desisnya tertahan, membuat wanita yang dipanggil Stella itu menyerah dan memutuskan untuk pergi.

Ansell melangkah mendekati Briana, tanpa memperdulikan pakaiannya yang kusut. Ia tersenyum sinis melihat gadis itu ketakutan.

"Kau mengganggu acaraku, Briana."

Ansell mengurung Briana di antara kedua tangannya, memerangkap gadis itu agar tak pergi ke manapun. Bau alkohol tercium dari napasnya ketika pria itu menunduk.

Briana berusaha melangkah menjauh, tapi punggungnya telah menabrak dinding. Dia benar-benar terjebak saat ini. Air matanya terjatuh tanpa bisa ditahan. Briana terdiam, dengan perasaan kalut dan takut secara bersamaan.

Apa yang ia lihat tadi ... menghancurkan perasaannya. Ansell mungkin bisa berkata kasar, tapi pria itu tak bisa melakukan hal ini padanya. Tidak ketika ada dirinya di sini.

"Jangan mendekat!" pekik Briana lebih terdengar seperti cicitan. Ia memeluk tubuh sendiri, menahan handuk yang melilit itu dengan bergetar.

Ansell terkekeh pelan. "Kenapa Briana?"

Briana menggelengkan kepalanya terus menerus, menghindari bibir Ansell yang nyaris menyentuh bibirnya. Ya Tuhan ... Pria itu rupanya mabuk! Meskipun tak dapat merasakan minuman itu secara langsung, namun Briana tahu dari baunya. Napas Ansell membuatnya mual.

"Tatap aku!" Ansell mencengkram dagunya dengan kasar. Memaksa Briana untuk menatapnya. Tiba-tiba ... Rasa sakit itu memenuhi dirinya, Ansell meringis pelan, menahan hasratnya yang kian memuncak. Sialan.

"Lepaskan aku Ansell." Briana terisak pelan.

Ansell tak memperdulikan rontaan Briana. Ia menarik lepas handuk yang melilit di tubuh gadis itu dengan paksa. "Aku membayar jalang itu cukup mahal ... Kau harus mengganti rugi karena telah menggangguku."

Kedua mata Briana membelalak merasakan sesuatu yang basah menyentuh bibirnya.

TBC

Unexpected Reality (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang