BAB DUAPULUH DUA

14.8K 964 19
                                    

A/N : cerita ini telah diterbitkan dalam bentuk ebook dan direpost lambat di Wattpad. Untuk membeli versi full silakan cek di google play.

***

BRIANA melangkah dengan tergesa memasuki mall, tanpa memperdulikan Ansell yang terus mengekorinya. Briana menatap pria itu penuh kebencian dan murka. Entah kenapa dadanya terasa sesak mendengar ucapan ansell. Air matanya tanpa sadar menetes perlahan membasahi kedua pipinya. Briana mengusapnya dengan kasar.

Masih terasa rasa ngilu di tangannya akibat menampar pipi Ansell. Terbayang betapa kerasnya Briana menampar pria itu. Briana tertegun. Ia menghentikan langkahnya. Apa Ansell kesakitan? Ugh ... Kenapa ia harus peduli di saat pria itu bahkan seperti ini padanya.

Briana tak habis pikir. Kenapa ia pasrah saja menikah dengan pria itu? Dijadikan sebagai objek seks? Demi Tuhan ... Pria itu memang bisa mengakui dirinya sebagai dewa Yunani. Tapi, Ansell Millian harus bertekut lutut untuk mendapatkannya. Dasar sialan! Briana memaki dalam hati.

"Kau sengaja ingin melukai dirimu sendiri, hah?" Sentakan Ansell membuat Briana nyaris terhuyung. Namun, dengan sigap Ansell memeluknya erat, menenggelamkan kepala Briana di dada bidangnya. Jemari pria itu mengusap puncak kepala Briana. "Jangan membuatku malu di sini, Briana," desisnya mengancam.

Briana melepaskan pelukannya dengan kasar. Ia menatap Ansell nanar. "Untuk apa kau mengejarku!"

Ansell menatap Briana dengan sinis. Untuk apa? Briana memang keterlaluan berani menamparnya. Pipinya sampai terasa panas dan telinganya berdengung. Gadis itu memang aneh. Caranya licik sekaligus pandai sekali dengan bersandiwara. Apa dia pikir Ansell akan percaya?

Ansell kembali menarik Briana ke dalam pelukannya. Menekan tubuh sintal gadis itu ke tubuhnya lebih erat. Napasnya berhembus tepat di telinga Briana. "Kau sedang mengandung darah dagingku, Sialan! Jika sampai terjadi sesuatu, aku tak segan-segan--"

"Aku tak peduli!" Briana nyaris berteriak. Air matanya mengalir deras membasahi kedua pipinya. "Aku mau pulang, lepaskan aku!"

Ansell terkekeh, tak berniat melepaskan pelukan eratnya di pinggang Briana. "Merajuk istriku?" ejeknya, seakan-akan tangisan Briana adalah lelucon. Ansell membuka jarak di antara dekapannya. Ia mengusap air mata Briana di pipinya.

"Berhenti menangis. Atau aku akan memasukkimu disini, sekarang juga," ancamnya penuh penekanan.

Briana mengalihkan pandangannya dengan kesal. Ditepisnya jemari Ansell dari wajahnya. Dia tak peduli dengan sekitarnya. Dengan orang-orang yang menatap mereka berdua dengan pandangan bertanya. Briana sangat muak dengan sikap Ansell. Pria itu memang kasar dan keterlaluan. Tidakkah dia sadar dengan ucapannya?

"Ayo kita isi perutmu." Ansell menarik tangannya seenaknya, membawa Briana masuk ke salah satu restoran di mall tersebut. "Duduk," perintahnya tanpa ekspresi.

Dengan terpaksa Briana duduk di samping Ansell. Briana bergeming di posisinya. Ia sama sekali tak membuka mulut ketika pelayan datang dan bertanya. Hal itu membuat Ansell kesal setengah mati.

"Jadi kau benar-benar ingin bermain denganku, Briana?" Ansell menatap Briana dengan datar. "Sejauh apapun kau merajuk. Aku tak 'kan pernah--"

Ucapan Ansell terputus melihat Briana yang bangkit dan melambaikan tangannya. Senyum Briana terlukis lebar. Raut wajah suramnya berubah cerah. Dia tak pernah menyangka Miguel akan berada di sini juga.

Ansell mengikuti arah pandang Briana. Tatapan tajamnya kian kental. Dadanya bergemuruh panas. Pria itu lagi? Untuk apa Briana melambaikan tangannya pada pria itu?

"Miguel! Ayo duduk di sini!" tawar Briana masih dengan senyum lebarnya.

Hatinya membuncah melihat sosok itu. Dia merasa sangat bahagia. Briana ingin berbicara dengan Miguel dan meminta penjelasan. Ingatannya masih agak samar, belum sepenuhnya pulih. Briana bersyukur dengan hadirnya Miguel dia tak perlu mencari pria itu ke manapun.

Miguel melangkah mendekatinya dengan segelas kopi di tangannya. Pria itu membalas senyumannya tak kalah bahagia. Tanpa sadar mereka mengabaikan kehadiran Ansell yang nyaris meledak.

"Duduklah--"

"Siapa yang mengizinkannya untuk duduk?" sela Ansell kasar.

Briana mencibir. "Kursinya penuh, Ansell. Biarkan Miguel duduk."

"Briana, tidak apa-apa, aku bisa mencari kursi--"

"Tidak, Miguel, kau boleh duduk bersama kami--"

"Tidak, aku tidak mengizinkanmu duduk di sini--" Bibir Ansell terbuka merasakan sesuatu menekan kakinya.

Ansell menggertakkan giginya seraya menatap tajam Briana. Gadis itu hanya mengangkat bahu dan tersenyum manis. Antara sakit dan nikmat. Briana mengusap intinya di bawah sana, di saat yang bersamaan sepatu hak tingginya menginjak sepatu Ansell. Memang sempurna. Perpaduan sialan yang membuat Ansell menyerah.

"Duduklah, Miguel." Briana bangkit, "Aku akan pergi ke toilet sebentar." Gadis itu merasakan berat yang amat sangat. Briana membutuhkan toilet sekarang juga. Ia berharap semoga Ansell tak berbuat macam-macam.

"Dia tunanganku." Miguel berujar datar. "Dan aku berniat membawanya kembali," tambahnya, tak membuat Ansell takut sama sekali.

Ansell menyimpan kedua tangannya di depan dada dengan santai. "Jangan lupakan bahwa aku suaminya."

"Aku tak peduli," sela Miguel tetap percaya diri. "Dia hanya kehilangan ingatannya sekarang."

Ansell terkekeh hambar. "Lupakan misimu, Anak muda. Istriku tengah mengandung saat ini."

Miguel mengusap dagunya. "Lalu kenapa? Aku sama sekali tak peduli. Lagipula tampaknya kalian tak saling mencintai."

Ansell mengepalkan jemarinya di bawah sana tanpa sadar. Membuat buku jarinya nyaris memutih. Perkataan Miguel memang benar adanya. Mereka menikah bukan karena saling mencintai. Memang bukan....

Senyum Miguel terlukis manis. "Lambat laun, Briana akan mengingat semuanya. Dia akan sadar ... Siapa pria yang paling berarti di hidupnya. Biarkan dia memilih."

TBC

Unexpected Reality (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang