Giana nampak siap keluar rumah, padahal matahari belum menampakan wujudnya, ya meskipun sudah ada secarik cahaya yang muncul.
"Pagi, Gia!" sapa Sena—teman sekaligus tetangga Giana- dengan suara cempreng khas miliknya.
"Pagi, Sena!" balas Giana tersenyum menyambut lambaian tangan Sena.
"Sekolah yang bener, jangan ngebucin terus!" peringat Giana sembari tertawa.
"Makan dulu, make up mulu yang dipikir!" seru bu Tati—ibu Sena- yang melihat anaknya sibuk memainkan alat make up-nya di bibir jendela.
"Makan dulu, ntar telat ngomelnya ke Mamih!" tambah Tati sembari menjewer telinga anaknya.
"Ih, sakit Mih ini sakit. Bentar lagi nih tinggal liptint doang kok!" keluh Sena.
"Cepet makan! Liat jam berape! Contoh Gia noh, jam segini dah siap berangkat!" omel Tati lagi.
"Mih, Gia pergi dulu!" pamit Gia pada Tati.
"Iya, ati-ati. Ntar kalo Gia ke rumah sakit salam buat pak Ari ya, Gi." balas Tati tersenyum.
"Mamih apaan si. Udah tua aja masih ngarepin suami! Udah sanah Gi berangkat, jangan dengerin omongan nyokap gue!" usir Sena dengan kesal.
Giana yang menyaksikan hiburan paginya dari balik jendela itu terkekeh. Menggeleng kepala sembari tersenyum. Dia lantas bergegas meninggalkan kampung.
Giana memang tinggal di kampung tak jauh dari kota. Kondisinya tidak terlalu kumuh, kalau orang berkecukupan yang menilai. Namun berbeda saat kalangan atas yang memberi penilaian atas kebersihan kampung ini.
Meskipun tidak bertebaran sampah, namun keadaan jalan yang sebagian aspalnya tak berbentuk, rumput liar bersejajar sepanjang gang, dan rata-rata lingkunganya masih beralas tanah menjadi alasan penurunan penilaian bagi kalangan atas.
Tetapi, apapun penilaian atas kampung tempat tinggalnya, itu tak menjadi masalah untuk Giana. Selama dia merasa nyaman dan warga ramah padanya.
Turun dari angkot, Giana kembali berjalan memasuki rumah sakit. Perlu waktu setengah jam lebih untuk sampai di rumah sakit. Giana perlu menaiki angkot dua kali. Tidak ada angkot satu jurusan dari kampung ke rumah sakit ayahnya menginap. Selain itu, menanti kursi penumpang penuh menjadi alasan lamanya durasi perjalanan.
Waktu perjalanannya hampir menyamai waktu Giana saat dia berjalan kaki. Tapi hari ini dia tidak sedang melangsungkan hemat ekstranya, jadi memilih menaiki angkot.
"Ayah!" sapa Giana mendatangi ranjang ayahnya.
"Tumben anak Ayah dateng pagi?" balas Ari tersenyum menggoda anaknya.
"Apa si, Yah. Emangnya nggak boleh kalo Gia dateng pagi?" rajuk Gia memasang tampang imutnya.
"Masih pagi masa mukanya udah kecut gitu?" goda Ari mencubit kedua pipi Giana.
"Ayah, ih! Oh iya, bu Tati tadi titip salam buat Ayah."
"Ya sudah, nanti kirim balik salam dari Ayah." Giana memasang tampang jahil setelah mendengar balasan ayahnya.
"Kenapa muka kamu, ngeri ih!" komentar Ari.
"Hayo loh, Ayah ada rasa sama bu Tati ya?" ledek Giana menggelitik perut Ari.
"Aduh geli Gia, stop! Cukup!" keluh Ari sembari tertawa merasakan geli di perutnya. Giana berhenti menggelitik dan memasang senyum tanpa dosanya.
"Huft! Kamu itu mikirnya ya, memang Ayah ini anak remaja kaya kamu. Kalau ada orang kasih kebaikan ya kita harus berusaha membalasnya. Apalagi bu Tati kan selalu baik sama kita, jadi apa salahnya membalas salam. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh, Gia!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Perjalanan Berharga
Roman pour AdolescentsSlow Update Ending adalah titik acuan sebagai penantian bagi seorang Anggiana Edelweis. Perjalanan harus dia lalui untuk mencapai sebuah penantian. Membuahkan pengalaman untuk menjadikanya sebagai perjalanan berharga. ••••••• Ini adalah kisah, kis...