Dua

9 2 0
                                    

Angin berhembus, menerpa tubuh seorang gadis, Giana orangnya. Dia semakin menambah kecepatan laju motornya. Otaknya bereaksi cepat setelah sang mata melirik jam tangan.

Sampai tujuan, langkah besar Giana langsung memasuki apartemen elite di Jakarta. Tubuhnya berhenti pada sebuah pintu bertuliskan angka 136. Dengan segera dia menekan bel yang bertengger di samping pintu.

Ting tong

Tak menunggu lama, pintu terbuka tentu dari dalam. Menampilkan laki-laki dengan baju rumahan. Ada handuk yang tergeletak di pundak kanan. Rambutnya pun basah menandakan ia habis keramas.

"Selamat pagi, Kak. Saya mengantar pesanan makanan." ujar Giana dengan ramah.

"Nih uangnya, kembaliannya lo ambil aja." ucap laki-laki yang sedang menjadi pelanggan Giana. Setelah memberi uang, kantong plastik langsung ia sambar.

Dor

Suara pintu tertutup dengan keras.
'Nggak punya etika banget sih.' batin Giana mencibir pelanggannya itu.

'Sabar Gi, masih pagi. Untung ngasih tip.' lanjutnya

Ia berjalan memasuki lift. Di dalam sana, ia menghitung jumlah uang yang diberikan pelanggannya tadi.

'Sok banget ngasih kembalian. Duit pas-pasan gini apa yang bisa buat gue.' cibirnya dalam gumam.

Ting

Layar di dalam lift menunjukan angka satu, membuat Giana bergegas. Sayangnya, hari kamis ini menjadi langganan hari sialnya. Pesanan milik pelanggan gedung sebelah harus terjatuh.

"Eh, sorry." ujar seseorang yang baru menaiki lift. Laki-laki tersebut tampaknya menjadi penghantar kesialan Giana saat ini.

Giana tidak menanggapi, dia fokus memungut pesanan yang masih layak konsumsi. Selesai dengan pilahnya, kesialan kembali melanda.

"Eh, tunggu-tunggu!" teriak Giana berharap pintu lift itu kembali terbuka.

Namun seribu sayang, lift itu sudah kembali bergerak naik. Giana hanya bisa membuang napasnya dengan kasar. Dia melirik sinis pada laki-laki di sebelahnya. Hanya sekilas, namun berhasil membuat laki-laki itu meringis dibuatnya.

"Gue ganti deh, makanan yang jatuh itu." tawar laki-laki tersebut menunjuk kantong kresek yang berisi makanan tak layak konsumsi.

Mata Giana menajam, beradu dengan mata penuh penyesalan. Giana tau, penyesalan terukir jelas di matanya. Membuat Giana membuang napasnya dengan kasar.

"Bukan masalah uang, tapi waktu. Ini pesanan udah ditungguin orang!" balas Giana.

Ting

"Tuh, sampai. Nggak perlu ganti rugi!" ujar Giana mengusir laki-laki tersebut untuk keluar.

"Eh, tapi kan ...." sanggahan sang laki-laki tak berlanjut karena Giana sudah mendorongnya keluar.

Pintu lift tertutup bersamaan dengan laki-laki tersebut yang sudah berdiri mendapatkan keseimbangannya.

"Sampai jumpa lagi!" teriak sang laki-laki sebelum pintu lift benar-benar merapat. Giana yang mendengar hanya menghela napas.

•••••

"Ayah!" sapa Giana memasuki kamar inap ayahnya.

"Baru selesai? Kenapa nggak langsung pulang, sayang? Keliatanya cape banget." balas Ari menanggapi anak semata wayangnya.

"Gia kangen Ayah." keluh Giana di pelukan sang ayah.

Sembari terduduk, Giana dengan posesif melingkarkan lenganya di perut Ari yang terbaring. Ari mengelus rambut putrinya. Dia tersenyum tanpa membalas kata. Membiarkan Giana melepas penatnya.

Perjalanan BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang