Sembilan

3 1 0
                                    

Giana berhenti di depan pintu bertuliskan 136. Setelah menekan sederet angka, dia kembali melangkah memasuki apartemen.

Brak

"Arghh!" rintih Giana.

"Maksud lo apa hah! Berani banget ya lo ngadu sama nyokap gue!" bentak Arya kepada Giana yang berada dalam kurunganya.

"Ngadu apa si maksudnya? Kalo mau ngomong jangan gini, sakit tau." balas Giana sembari mendorong dada bidang Arya. Dia merasa risih kalau dipojokan dengan jarak sedekat ini.

"Gue kan udah bilang, lo ngomong ke nyokap gue itu dikasih duit empat-puluh juta, bukan dua puluh. Lo budek ya?" sentak Arya yang masih tersulut emosi.

"Kapan, gue nggak denger lo ngomong gitu ya!"

"Muna banget ya lo! Bilang aja lo emang pengen tinggal di rumah gue, nggak usah munafik sok nolak. Jijik gue liatnya."

"Gue juga nggak mau, tapi keadaan dari sudut manapun ngedesak gue buat tinggal disana. Gue juga nggak akan lama kok di san ...."

"Nggak lama lo bilang? Tiga tahun lo bilang nggak lama? Hah?!" bentak lagi Arya.

"Gue tau bokap lo nyumbang jantung buat bokap gue. Tapi donornya pas udah mati. Didonor ataupun engga, bokap lo tetep mati. Apa tinggal di apart masih kurang buat berterima kasih hah? Lo punya malu nggak si? Mau numpang di rumah gue? Ya udah sanah dengan begitu utang budi keluarga gue impas. Tapi nggak usah minta sekolah juga. Kalo kaya gitu namanya lo yang utang budi."

Giana ingin menyela, Giana ingin menyanggah, Giana juga ingin membalas semua perkataan Arya. Namun bibirnya ini tak kuasa berbicara. Tenaganya sudah cukup terkuras karena nyeri di dada. Apalagi dia baru saja pulang kerja.

Dia tak habis pikir dengan ucapan Arya yang begitu vulgar.

Apa dia tidak memikirkan perasaan Giana sama sekali.
Apa dia tak tahu keadaan yang Giana hadapi saat ini?
Sebegitu bencinyakah Arya terhadap Giana?

"JAWAB! BISU LO? Hah!" bentak Arya.

"Gue emang nggak punya malu! Puas kan?! Besok gue pindah ke rumah!" final Giana. Dia langsung pergi meninggalkan Arya.

"Sialan!" Umpatnya sebelum menendang dinding dengan kasar.

Arya lantas keluar apartemen. Dia kembali ke rumahnya, kediaman Adinata. Penolakan atas kedatanganya Giana memang nyata dia lakukan. Tapi sepertinya dia masih lebih menerima hal ini daripada kabar terbarunya itu.

Bagaimana bisa Fara mendaftarkan pendidikan untuk Giana di SMA-nya sekarang. Bahkan Mamahnya ini memperkenalkan Giana sebagai menantu keluarga Adinata. Tentu saja Arya emosi.

Memangnya siapa Giana. Dia bahkan bukan orang yang mendonorkan jantungnya pada sang ayah. Dia hanya anak pendonor, tidak lebih. Giana bahkan menerima tinggal di rumah supaya pendidikanya tidak dibatalkan.

"Dasar cewe mata sumbangan! Manfaatin bokap lo buat dapet apa yang lo mau. Durhaka lo, gue sumpahin jodoh lo bukan orang! Jodoh lo burik, makan tuh jodoh. Sialan! Anjing banget tuh cewe!" racau Arya dalam gumam. Matanya masih fokus pada jalan, tapi bibirnya terus berkomat-kamit dengan segala umpatan.

•••••

"Siang neng Gia!" sapa Juno sembari tersenyum ramah.

"Siang juga pak Juno." balas Giana ikut tersenyum.

"Sini kopernya biar Bapak yang bawa."

"Nggak usah, Pak. Gia bawa sendiri aja." tolaknya dengan halus.

Juno tak mempermasalahkan itu, dia memilih untuk membuka pintu bagasi, daripada harus memperpanjang perkara koper.

"Gia duduk di depan aja, Pak." ujar Giana.

Perjalanan BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang