O2. Beautiful lier

561 94 294
                                    

Happy reading ♡

Sepulang sekolah hari itu, Zea tidak memiliki jadwal kegiatan ekstrakurikuler seperti biasa. Alih-alih mengikuti kegiatan tersebut, gadis itu malah pergi naik bus menuju rumah sakit. Ia berbohong kepada Wish, kakaknya, dengan alasan ada kegiatan eskul, padahal niatnya adalah untuk memeriksa kondisi kesehatannya.

Sesampainya di rumah sakit, Zea langsung bertemu dengan dokter yang telah berjanji untuk menemuinya. Ia pun mengikuti sang dokter menuju ruang pemeriksaan, di mana ia akan menjalani serangkaian tes untuk mengecek keadaannya.

Jujur saja, ini bukanlah kali pertama Zea pergi ke rumah sakit secara diam-diam tanpa sepengetahuan kakaknya. Mungkin sudah sekitar lima kali ia melakukan hal serupa.

Zea tampaknya memiliki alasan tersendiri untuk menyembunyikan kunjungannya ke rumah sakit dari Wish. Dia juga tahu, tindakan berbohong dan menyembunyikan informasi dari orang terdekat tentu bukan langkah yang bijak. Hal ini dapat berdampak pada kepercayaan dan hubungan yang telah dibangun antara Zea dan Wish.

Setelah menjalani rangkaian tes, Zea duduk di depan meja dokter Seokjin, menunggu hasil pemeriksaan dengan perasaan was-was. Dokter Seokjin, yang telah merawat Zea sejak kecil, pun menyampaikan hasil yang membuat hati Zea terasa sesak.

Seusai menjalani rangkaian tes, Zea duduk berhadapan dengan dokter Seokjin, menunggu hasil pemeriksaan dengan hati yang was-was. Dokter yang telah lama merawatnya itu pun menyampaikan diagnosis yang membuat jiwa Zea terasa tercabik.

"Zea.. maaf kamu harus menerima ini.. Glioblatosma, " ucap Seokjin dengan nada prihatin, seakan turut merasakan beban yang menghimpit dada Zea.

Mendengar kalimat itu, bening air mata pun meleleh dari manik Zea. Glioblastoma bukanlah penyakit sembarangan, melainkan satu entitas yang dapat merampas nyawa dalam sekejap. Zea tercenung, tak tahu harus berbuat apa untuk melanjutkan perjalanan hidupnya yang kini terasa berat.

"ada dua pilihan yang harus kau timbang dengan jernih. Kau dapat menempuh jalan operasi, yang memberimu harapan untuk bertahan lebih dari lima tahun. Atau, kau dapat memilih untuk pasrah, namun hanya mampu menyaksikan mentari terbenam selama tiga hingga lima bulan lagi," tutur Seokjin dengan nada lembut, seakan berusaha menenangkan gejolak batin Zea.

Zea terdiam, membiarkan bulir-bulir bening itu mengalir membasahi pipinya. Kini ia dihadapkan pada sebuah keputusan yang seakan menjadi titian antara hidup dan mati. Namun, dengan dukungan sang dokter yang telah lama menjadi sahabat setianya, Zea berharap dapat menemukan kekuatan untuk melangkah maju, menatap masa depan dengan optimisme.

Zea terdiam, menimbang-nimbang pilihan yang dihadapinya. Dalam hati, ia tidak ingin keluarganya mengetahui tentang penyakit ganas yang dideritanya. Namun, di sisi lain, Zea ingin memperpanjang usianya, agar dapat mewujudkan impian-impiannya.

Permasalahan lain yang menghantui Zea adalah masalah biaya. Operasi yang dibutuhkan tentu memerlukan dana yang tidak sedikit, sementara Zea tidak memiliki uang yang cukup. Uang yang selama ini ia kumpulkan justru diperuntukkan bagi biaya kuliahnya di masa depan.

Setelah menyeka air matanya, Zea menatap wajah dokter Seokjin dengan pandangan pasrah. "Sementara ini, Zea pilih pasrah saja," ucapnya lirih.

Dokter Seokjin terkejut mendengar keputusan Zea. "Kamu yakin, Zea?" tanyanya sekali lagi, berusaha memastikan.

Zea mengangguk pelan. "Yakin, Dok. Zea tidak tahu sampai kapan Zea akan hidup. Mungkin akan ada saatnya Zea berubah pikiran. Tapi untuk saat ini, Zea merasa tidak berdaya menghadapi takdir yang menghampiri," jawabnya dengan suara bergetar.

Hati Seokjin terasa teriris melihat ketegaran Zea. Sebagai dokter yang telah lama mengenal gadis itu, ia tahu betapa berat keputusan yang harus diambil Zea. Namun, Seokjin juga memahami bahwa Zea membutuhkan waktu untuk menerima kenyataan dan mempertimbangkan segala kemungkinan.

𝗔 𝗳𝗼𝗿 𝗭 || 𝗔𝘆𝗱𝗲𝗻  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang