18. Mengejar kembali yang hilang

313 53 40
                                    

Dua bulan telah berlalu, namun Zea masih terbaring di rumah sakit. Orang tuanya sengaja membiarkan Zea di sana, agar gadis itu mendapatkan perawatan yang baik. Mereka tahu, jika Zea baru saja sembuh, pasti ia akan jatuh sakit lagi dan harus kembali dirawat.

Di siang yang cukup dingin ini, Zea terduduk di ranjang rumah sakit. Ia menekuk kedua kakinya dan memeluknya, sementara matanya menatap pemandangan jalanan dari jendela di sampingnya. Hatinya dipenuhi kerinduan.

"Ayden, kamu kemana?" lirih Zea, air mata mulai mengalir di pipinya.

Gadis itu merindukan sosok Ayden, merindukan pelukan hangatnya, bahu tempatnya bersandar, dan lelucon-lelucon yang selalu membuat Zea tertawa. Ia merindukan kata-kata Ayden yang selalu bisa membuatnya merasa lebih baik.

Zea menyesali semua yang telah ia lakukan kepada Ayden. Ia menyadari bahwa ia tidak bisa hidup bahagia tanpa kehadiran kekasihnya itu. Zea mencintai Ayden, dan ia ingin Ayden kembali ke sisinya.

Air mata Zea semakin deras mengalir. Ia terisak-isak, meratapi kerinduan yang menyesakkan dadanya. Di sana, di ranjang rumah sakit yang dingin, Zea hanya sendirian.

Dalam kesendiriannya, Zea hanya bisa menangis, menunggu dan berharap Ayden akan datang menemuinya. Karena tanpa Ayden, hatinya terasa hampa dan tak berdaya.

Pintu kamar Zea terbuka perlahan, menimbulkan suara derik yang tertangkap oleh telinga gadis itu. Zea menoleh dan mendapati Renjun berdiri di sana, membawa sebuah biola di tangannya.

"Zea.. seminggu lagi kamu kompetisikan, ayo main biola," ajak Renjun dengan lembut. "Tapi kalau keadaanmu lagi tidak baik, tidak apa-apa. Keadaanmu lebih penting daripada kompetisi."

Zea terdiam, menyeka air mata yang masih mengalir di pipinya. Ia menatap Renjun, terharu dengan perhatian yang diberikan sahabatnya itu.

Benar, Zea hampir melupakan kompetisi biola yang akan diikutinya dalam waktu seminggu lagi. Ia belum sempat berlatih lagi, padahal waktunya semakin sempit. Namun, di saat seperti ini, apakah ia masih bisa bertahan dan mengikuti kompetisi itu?

Zea menghela napas berat. Hatinya masih dipenuhi kerinduan akan Ayden. Ia tidak yakin bisa fokus berlatih dan tampil dengan baik di kompetisi. Namun, di sisi lain, Zea tidak ingin mengecewakan Renjun dan orang-orang yang telah mendukungnya.

Zea hanya menggelengkan kepalanya perlahan. Meskipun kompetisi biolanya semakin dekat, hari ini ia tidak ingin beraktivitas banyak. Yang ia inginkan hanyalah berlatih bersama Ayden.

Gadis itu sangat merindukan Ayden. Sudah lebih dari dua bulan sejak mereka bertengkar di rooftop, namun Ayden tak pernah lagi datang menjenguknya di rumah sakit. Hati Zea terasa sakit mengingat hal itu.

Melihat respon Zea yang seperti itu, Renjun hanya bisa mengangguk dan tersenyum, meskipun hatinya sedikit tersayat melihat sahabatnya terus-menerus menangisi Ayden.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Renjun membanting biolanya ke sofa dan meninggalkan kamar Zea, menutup pintu dengan kasar.

Zea terkejut melihat reaksi Renjun. Ia tahu sahabatnya itu pasti kecewa karena ia menolak untuk berlatih bersama. Namun, Zea benar-benar tidak bisa fokus pada kompetisi saat ini. Hatinya terlalu dipenuhi kerinduan akan Ayden.

Gadis itu kembali menangis, memeluk lututnya erat-erat. Ia berharap Ayden akan segera datang dan memeluknya, menenangkannya seperti dulu. Tanpa Ayden, Zea merasa hidupnya hampa dan tak berdaya.

Renjun menghela napas berat, menyadari betapa lelahnya ia mencintai seseorang yang hatinya telah terisi oleh orang lain. Ia ingin bersikap egois, namun ia tahu hal itu hanya akan membuatnya dibenci oleh Zea.

𝗔 𝗳𝗼𝗿 𝗭 || 𝗔𝘆𝗱𝗲𝗻  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang