11. Rahasia yang terkuak

357 70 32
                                    

Yewang berlari tergesa-gesa menghampiri Ayden yang terduduk di kursi rooftop, memandangi pemandangan kota. Kedatangan Yewang dengan informasi yang disampaikannya berhasil membuat jantung Ayden berdegup kencang.

"DEN, ZEA MASUK RUMAH SAKIT!!" seru Yewang panik.

Ayden terkejut, bukankah tadi Zea masih baik-baik saja? "Kok bisa? Zea kenapa????" tanyanya cemas.

"Gue gak tau, den. Zea ditemukan pingsan di depan ruang musik, dan lebih parahnya lagi, Zea penuh bercak darah," jelas Yewang.

"Bercak darah?" Ayden mengulang ucapan Yewang dengan nada bingung.

"IYA, tangannya bagian jari luka dan lo tau? Ternyata tadi dia tampil sambil nahan sakit jarinya dan alhasil berdarah terus ngotorin pianonya." Yewang menghentikan ucapannya sejenak, menarik napas panjang. "Dan pinternya tuh bocah langsung tutup pianonya biar gak ketauan like bro wtf is wrong with her," lanjutnya.

Ayden terdiam membeku, tatapannya kosong. Menahan sakit? Berdarah? Luka di bagian jari?

Ayden berusaha menenangkan diri. Meskipun ini situasi yang mengkhawatirkan, ia harus berpikir jernih dan mengambil tindakan yang tepat. Segera dihubunginya pihak rumah sakit untuk mendapatkan informasi terbaru mengenai kondisi Zea. Ia harus memastikan bahwa Zea mendapatkan perawatan yang memadai.

"Kenapa kamu datang dan lihat semua itu disaat waktu yang enggak tepat? jian yang mulai duluan ayden! dia yang ngelukain aku duluan!!!!"

Hati Ayden terasa remuk, seolah baru saja dihantam palu besar. Ucapan Zea terngiang-ngiang di benaknya, membuatnya semakin bingung dan kalut.

"Zea... astagaa..." bisiknya lirih, tatapan matanya menerawang.

Yewang menatapnya prihatin, "Dia belum sadarkan diri, Den. Guru-guru lagi nyelidikin kasus ini." Yewang berhenti sejenak, "sekarang dia di rumah sakit HUMC!! lo harus kesana, dia butuh lo"

Ayden mengepalkan tangan, berusaha menahan gejolak emosi yang membuncah. Tanpa banyak bicara, ia segera beranjak, melangkah cepat menuju rumah sakit Hallym University.

Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi rasa bersalah dan kekhawatiran. Bagaimana jika Zea... Tidak, ia tak sanggup membayangkannya. Ia harus segera memastikan keadaan Zea, membuktikan bahwa ucapannya selama ini benar.

Setetes air mata jatuh membasahi pipi Ayden. Bibirnya bergetar, mengucapkan maaf dalam diam.

"apa kamu gak tau adik kamu menderita tumor ganas glioblatosma??" Sang dokter bertanya kepada seorang pemuda alias wish yang kini berada di depannya. 

Suasana di ruangan itu terasa berat, seolah udara telah dihisap habis. Wish terpaku, tubuhnya gemetar mendengar penuturan dokter Seokjin.

"G-glioblatosma?" Wish mengulangi dengan suara bergetar, hatinya mencelos.

Dokter Seokjin mengangguk pelan, raut wajahnya penuh penyesalan. "Ya, adikmu menderita tumor ganas glioblatosma. Sepertinya ia menyembunyikan penyakitnya dari kamu selama satu bulan terakhir."

Wish tercekat, air mata mulai mengalir membasahi pipinya. Ia merasa begitu bodoh, begitu gagal sebagai seorang kakak. Bagaimana mungkin ia tidak menyadari penderitaan adiknya sendiri?

Renjun di sampingnya menatap Wish dengan sorot mata prihatin, hatinya ikut teriris menyaksikan kesedihan sahabatnya.

Wish terisak, tubuhnya bergetar hebat. Tapi— kenapaa...." lirihnya suaranya bergetar penuh penyesalan, seolah jiwanya terkoyak.

𝗔 𝗳𝗼𝗿 𝗭 || 𝗔𝘆𝗱𝗲𝗻  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang