Masih Dengan Hafit

4K 311 0
                                    

Di jam istirahat kedua aku sama Hafidz makan siang di kantin. Selama perjalanan ke kanting ada banyak sekali siswa/i kelas tiga yang menyapaku.

Yah kenal denganku disini hanya kelas tiga, sisanya tidak lagi karena aku udah berhenti mengajar diwaktu mereka masih kelas satu. Otomatis anak lelas satu dan dua tidak ada kenal denganku.

Dan tentu saja seperti dulu, anak-anak yang belum kenal denganku swdikit penasaran akan hubunganku dengan Hafidz. Secara kalian tahu kalau Hafidz ini salah satu guru idola laki-laki setelah pak Lutfi. Ah bagaimana dengan pak Lutfy, sedari tadi aku belum ada melihatnya sama sekali.

"Gimana Fit rasanya ngajar tanpa adanya gue disini?" tanyaku ketika kami sudah duduk dibangku kantin.

"Beuhhh bosan banget Rin. Elo sih pake acara berenti segala" wajahnya dibuat merengut.

"Habisnya gue malas deket-deket sama lo terus Fit" ucapku menggoda. Padahal mah rindu setengah mati sama Hafit.

"Mulut lo tetep aja beracun yah Rin?, awas aja nanti kalau ponakan gue ambil sipat lo yang kayak mak lampir ini" aku melempar tissu yang aku pegang tadi kewajahnya.

"Wess selo bumil selo" dia mengakat tangan ketika aku hendak memukulnya kembali.

"Makanya jangan nyari gara-gara lo ama gue" ucapku garang.

"Iya deh bumil mah selalu bener" untuk kesekian kalinya Hafidz mengalah padaku.

Ah dia tidak pernah berubah. Hanya aku sekarang yang berubah, sudah menjadi istri orang lain dan nanti bakalan menjadi seorang ibu.

"Lo tau gak Fit pengorbanan gue biar bisa ketemu sama lo?"

"Enggak tau" dia mengangkat kedua bahunya.

"Makanya itu lo harus dengerin!" ancamku padanya.

"Ya allah salah mulu gue. Iya dah iya. Emang apa pemngorbanan elu bu haji?" ucapnya gemas. Aku terkekeh melihat wajahnya yang ditekuk.

"Jadi tuh gue mesti berantam dulu sama bang Adit" bisikku sambil melirik kiri kanan. Aman. Untung saja tidak ada dewan guru. Hanya beberapa anak siswa yang makan dijam istirahat kedua begini.

"Asatgfirullah, lo gak boleh berantam ama suami Karina apalagi gara-gara gue" ucapnya sambil memijit pelipis.

"Gak sampe main cakar-cakaran ko" ucapku santai. Tapi tidak dengan Hafidz, lagi-lagi jelas tergambar diwajahnya kalau dia kaget.

"Ya allah kariim. Emang bener-bener lo yah Karina!. Iihh kalau lo itu cowok udah gue tampol dari tadi" aku terkikik geli melihat wajah kesalnya.

"Berdosa lo Fit nganiaya ibu hamil" aku menaik turunkan alis.

"Astagfirullah sabarkan hamba ya Allah. Jangan sampai hamba mencakar wajah ibu hami satu ini" dia memanjatkan doa sambil mengelus dadanya bekali-kali.

"Iya demi ketemu sama lo, gue harus diam-diaman sama bang Adit, yaah walaupun cuma sebentar aja sih"

"Lain kali jangan gitu Rin, gak enak gue nanti kalau ketemu sama laki lo"

"Tenang aja Fit, laki gue aman. Dia gak bakalan berani macam-macam sama lo selagi gue ada" aku sedikit menyombongkan diri.

"Dih sombong amat lo. Tau dari mana lo dia gak bakalan ngapa-ngapain gue nanti?"

"Yah taulah. Bang Adit kan cinta mati sama gue, aamiin. Makanya dia gak bakalan ngelukai lo" tunjukku padanya dengan sedotan.

"Emang kenapa denga gue?" dahi Hafit menyerngit.

"Yah karena lo itu salah satu orang penting buat gue"

Demi apa, setelah mendengar itu Hafidz malah berkaca-kaca matanya.

"Gak usah terharu gitu Fit sama omongan gue" ucapku dengan malu-malu.

"Dih siapa yang terharu?, mata gue kelilipan tadi pas lo ngomong!" elaknya.

Hiliihh bialng aja lo malu kedapatan gue mau nangis.

"Tapi bener lo Fit, gue kangen banget lo tau. Sejak pertama kali gue sampe ke sini juga udah minta sama bang Adit biar bisa ketemu sama lo. Tapi kamu taulah bang Adit itu posesif bangat semenjak aku hamil. Gak boleh inilah, gak boleh itulah"

Aku menumpahkan segala kekesalanku terhadap bang Adit kepada Hafidz.

"Itu karena dia udah cinta mati sama lo. Makanya dia gak mau kenapa-kenapa sama lo dan juga calon anaknya"

"Yah tapi kan jangan ngekang gitu juga lah Fit. Lo tau kan gue itu orangnya gak bisa diem?" Hafisz mengangguk. "Makanya gue sebel bangat selama tiga bulan ini diam dirumah terus"

Aku tetap mengeluarkan keluh kesahku terhadap bang Adit kepada Hafidz. Hafidz diam saja, tidak mau menyela. Hanya sesekali bila aku bertanya pendapatnya. Ini juga yang aku sukai dari Hafidz.

"Itu karena kandungan lo belum kuat betul Rin, biasanya di trimester pertama, kandungan kan masih rawan makanya dia gak ngasih lo keluar rumah dulu" aku masih diam mendengar pendapat Hafidz.

"Buktinya hari ini lo dikasih keluar kan?"

"Itu karena gue diamin gue!" sungutku kesal.

"Bukan karena itu" aku mengernyit tidak mengerti maksud Hafidz. "Itu karena dia udah yakin bahwa kandungan lo udah kuat. Kalau memang belum, sekuat apapun kamu meminta gak bakalan dia kasih"

Iya juga yah. Padahal aku sudah beberapa kali meminta untuk ketemu Hafidz tapi gak pernah dikasih. Tapi tadi malam dia langsung ijinin, padahal aku cuman diemin sebentar doang.

"Makanya sehabis ini nanti kalau kamu sudah sampai rumah, minta maaf sama suami kamu. Dia itu sayang makanya melarang, kalau enggak?, mungkin sudah sedari dulu dia gak peduli sama apa yang kamu lakuin"

Aku benar-benar berterima kasih akan nasehat Hafidz tadi siang. Berkat dia, aku bisa buka mata kalau bang Adit itu benar-benar suami idaman.

Aku jadi tidak sabaran menunggu dia pulang. Malam ini aku sengaja memoles wajah, aku pengen terlihat cantik didepannya nanti.

Seperti biasa pukul delapan bang Adit sudah sampai dirumah. Aku buru-buru membuka pintu lalu menyambutnya dengan senyuman paling manis.

"Cantik bangat istri abang malam ini" ucapnya disela pelukan kami.

"Iya Hanin sengaja dandan buat abang" ucapku malu-malu.

"Aihhh manis sekali" ia mencolek hidungku. Aku yang terlanjur malu semakin menunduk.

"Udah, ayo mandi dulu habis itu baru makan" ajakku padanya.

"Jangan bilang adek belum makan lagi?" kali ini aku menggeleng.

"Hanin tadi udah duluan makan abang, si dedek gak bisa nunggu lagi. Kelaperan dia" ucapku menyengir.

"Bagus dong. Sering-sering yah dek cepat lapar, biar mamahnya gak suka nunda-nunda makan" ucapnya sambil mengelus perutku.

"Abang udah makan?" aku bertanya sambil membukakan satu-satu kancing kemejanya.

"Udah tadi"

"Ih ko abang gak bilang sama Hanin sih?, untung aja Hanin udah makan" ucapku cemberut, namun tak ayal aku tetap membantu dia melepaskan kemeja.

"Hehehe abang lupa ngabarin tadi sayang" ucapnya terkekeh. "Tapi sekarang abang lapar lagi" bisiknya ditelingaku.

"Tapi katanya tadi udah makan" ucapku tertahan lantaran geli sehabis mendengar ucapan bang Adit barusan ditelingaku.

"Iya abang lapar pengen makan kamu" kali ini tanpa aba-aba dia langsung mencium bibirku dengan lembut.

Ah sekarang aku paham apa maksud lapar yang ia bilang. Dasar suami. Baru juga puasa empat bulan udah gak nahan. Mau tak mau aku harus meladeni dia buka puasa malam ini.















Terima kasih
NurDyh ❤

PARIBAN (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang