Chapter 6 : We both hurt

5 1 0
                                    

Alviano pulang ke rumah dengan suasana hati yang sedikit senang karena ia masih teringat betapa lucu muka adik kelas nya itu, yaitu Harley. Ia tidak mengerti kenapa perempuan itu yang menjadikan alasan nya untuk tersenyum hari ini, tetapi satu hal yang dia tahu bahwa senyum indah yang selama ini ia berikan merupakan palsu untuk menutupi lukanya. Vino menjenjeng tas nya dan pergi ke ruang makan karena ia sangat lapar. 

"Eh udah pulang ya Vino," sapa seorang wanita yang sudah lumayan tua itu.

"Ayo makan dulu."

Wanita yang menyapa Vino adalah bi Sarni. Bi Sarni adalah orang yang sudah merawat Vino sejak kecil. Vino dan bi Sarni cukup dekat, malahkan Vino sudah menganggap bi Sarni sebagai ibu kedua nya.

Vino tersenyum melihat banyak nya makanan yang bi Sarni buat untuknya. Ia langsung menyantap makanan itu dengan hati yang senang. 

Bi Sarni yang melihat itu tersenyum. "Keasian nggak? Mau tambah nggak? Kalau mau makanan lain tinggal bibi buatin ya."

Vino yang mendengar itu terkekeh. "Bi makanan nya enak kok dan Vino cukup sama makanan yang udah dibuat bibi, jadi nggak usah repot-repot ya bi."

Bi Sarni tertawa. "Yaudah, bi Sarni ke belakang dulu ya. Kalau ada apa-apa panggil bibi."

Bi Sarni hendak pergi tetapi ia tiba-tiba teringat pesan dari tuan rumah nya itu, yaitu papa dari Vino. 

"Vino, bibi dapat pesan dari tuan Wilson kata nya uang jajan sudah di transfer, jadi Vino nggak usah khawatir."

Vino hanya mengangguk. "Kalau mama?"

Pertanyaan Vino membuat bi Sarni menatap Vino penuh iba. 

"Belum ada surat dari mama?"

Bi Sarni geleng-geleng.

Vino terdiam lalu tersenyum. "Yaudah, makasih ya bi."

Vino pun menghabiskan makan sore nya itu dan beranjak ke kamar untuk ber istirahat. Hingga sebuah laci yang terkunci itu menangkap kedua mata Vino. Vino langsung membuka laci itu yang sudah 2 tahun lamanya tidak ia buka. Di laci itu terdapat sangat banyak surat yang diyakini berasal dari Viona, yaitu mama Vino. Tangan nya menangkap satu surat yang sudah terlihat sangat tua kemudian ia membaca surat itu dengan tangan yang bergetar.

Vino tampak berusaha tersenyum untuk menututupi kesedihan nya itu. "Maa, Vino masih belum cape kok nunggu surat dari mama. Vino masih kuat juga kok buat berdiri sendirian tanpa bantuan mama dan papa."

Hingga air matanya turun begitu membaca kalimat terakhir yang tertera di paling bawah surat terserbut. Vino membaca kalimat itu dengan suara nya yang bergetar. "I love you Vino, anak mama."

Vino meremas kertas itu lalu melempar nya ke sembarang arah. Ia menangis kencang dengan kegelapan dan kesepiannya itu. Di sore itu Vino sepenuh nya terjebak dalam kesedihan nya.  Saat ini yang bisa ia lakukan untuk menahan rasa sedih itu dan berharap akan ada nya cahaya yang membuat ia dapat bertahan dalam kesedihan ini. Ia selalu membutuhkan seseorang untuk menggapai tangan nya. 

Begitulah kisah Vino yang tenggelam dengan kesedihan nya. Kehidupan yang mewah dengan penuh kesepian, rasa bersalah dan keinginan untuk bahagia adalah bagian dari Vino. Vino memang sangat pandai untuk menciptakan senyuman dibalik setiap luka yang ada.

Di sisi lain, Harley yang tampak nya sedang di meja makan menyaksikan keributan antara Melinda dan Raymond. Ken yang awal nya menyaksikann itu pun memutuskan untuk pergi keluar dan Zara yang memang sudah tau dari awal akan adanya keributan, memutuskan untuk menyibukkan dirinya di sekolah. 

"LINDA, KAMU KENAPA NGGAK NGASIH TAU AKU KALAU SI HARLEY SEKOLAH HARI INI."

"YAAMPUN RAY, KOK BISA-BISA NYA MIKIR GITU SIH. YA AKU KIRA KAMU KAN JUGA SIBUK DAN UDAH BIASA KALAU HARLEY SEKOLAH, AKU YANG ANTER."

Seperti yang dibilang, Melinda dan Raymond tidak seperti pasangan suami istri lain nya. Mereka dengan segala keributan nya itu tidak pernah sadar bahwa itu semua akan berdampak besar pada Zara, Harley, dan Ken. Untuk kesekian kalinya lagi, tampaknya ego telah memenangkan hati mereka. 

"YA KAMU NGGAK NGASIH TAU AKU, SEAKAN-AKAN MAU NYEMBUNYIIN HARLEY DARI AKU."

Melinda yang lelah tejatuh duduk di sofa dan Raymond yang masih terus menggebu-gebu memarahi Melinda.

Harley memutuskan untuk ke kamar karena lelah mendengar obrolan mama dan papa nya itu. Ia meraih airpods milik nya untuk mendengarkan lagu, lalu di pasang lah airpods milik nya dengan volume paling besar. Kebiasaan itu yang selalu Harley lakukan ketika mengalami sesuatu yang membuat diri nya tertekan. Dengan mendengarkan lagu membuat ia terasa jauh keributan dan kelelahan yang ada, seperti terasingkan. 

Kita sama-sama sakit, aku dan kamu. Kita sama-sama berjuang menggapai cahaya itu yang tampak nya sangat jauh dari keberadaan kita. 


20th of JanuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang