18. Berdamai dengan perasaan

160 28 4
                                    



"Joohyuk."

"Aphwa?"

"Kau serius dengan ucapanmu?"

"Hmm ... uchafan yang mwana?"

Mingyu memasang wajah sedatar mungkin, sementara seseorang yang menjadi objek pandangannya belum menyadari hal itu. Tampaknya makanan-makanan yang memenuhi meja bulat berukuran sedang itu tak bisa Mingyu saingi eksistensinya. Terbukti dari ucapannya lima belas detik lalu yang terabai begitu saja, bahkan Mingyu yakin bila sahutan yang dia dapati hanya bernilai spontanitas semata.

Joohyuk membiarkan tangannya bergerak lincah, mencicipi satu per satu masakan yang dikirim ibu Mingyu menjelang malam tadi. Sesekali ia mendengus, menggeleng-gelengkan kepala, tak bisa untuk tidak meresapi kelezatan yang begitu memanjakan lidahnya.

"Mingyu," Joohyuk menghentikan gerak tangannya—selaku menelan makanan yang tersisa—sebelum melanjutkan,"sungguh, Jaerim ahjumma sangat—"

Baiklah, Joohyuk seketika lupa dengan apa yang akan dia ucapkan begitu mendapati wajah dingin Mingyu tengah menatapnya di sana.

Embus keras pun terbuang, Mingyu membuang atensi kala Joohyuk akhirnya menyadari sensitifitasnya kali ini. Jika biasanya ia seratus persen abai bila Joohyuk mulai beraksi dengan bodohnya, tetapi kali ini ia merasa kesal sekali, kebodohan Joohyuk menjadi masalah besar untuknya, seperti saat ini, dia menangkap tangan Joohyuk yang diam-diam kembali mengambil sepotong sayap ayam dan mengunyahnya cepat-cepat.

"Menjijikkan," dengus Mingyu.

Joohyuk yang merasa tertangkap basah pun menyegir lebar."Apa salahku?" tanyanya. Sementara sisa-sisa makanan menempel di sudut bibirnya.

"Hentikan, kau membuatku ingin muntah."

Entah apa yang ada dalam benak pemuda itu hingga tawa keras pun menggelegar memenuhi ruangan. Alih-alih beraksi, Mingyu hanya memasang wajah datarnya kembali.

"Sebenarnya, apa yang ingin kau tanyakan, Kim Mingyu?" singgung Joohyuk sembari berusaha mengakhiri sisa-sisa tawa.

Mingyu  tidak menjawab, Joohyuk berdeham pelan."Baiklah, aku akan menunda makanku, kau harus berterima kasih sekarang," ucap laki-laki itu, lantas beranjak dari sana dan menghampiri kursi di samping ranjang.

"Ucapanmu kemarin." Dengan setengah kesal Mingyu akhirnya memberi suara.

"Ucapanku kemarin?" Joohyuk terengut. Setiap ujung alisnya berkedut, menerka-nerka perkara penting apakah yang ia ucapkan kepada Mingyu kemarin?

"Apakah tentang Jisoo?"

Joohyuk memantuk-mantuk paham kala Mingyu tidak lagi memberi sahutan.
"Ahh, rupanya kau sangat terkesan sekali, ya. Mengapa kalian tidak berbaikan? Atau kemarin kalian sudah melakukannya?" Lantas tersenyum usil.

"Jangan beralih topik, mengapa kau susah sekali diajak bicara?" Tanpa sadar suara itu meninggi. Menyaksikan Joohyuk bertingkah setingkat lebih menyebalkan dari biasanya, membuat emosinya mudah tersulut.

"Maafkan aku, Mingyu hyung~" Joohyuk memayunkan bibir, memasang ekspresi imut. Diam-diam merasa puas menyaksikan gurat muka Mingyu yang kian berantakan. Dalam batin tertawa kencang, entah mengapa melihat Mingyu yang mudah terpancing emosi seperti sekarang membuatnya senang, karena itu termasuk keadaan yang langka, jadi dia ingin menggoda Mingyu sedikit lagi. Namun, suara gagang pintu yang hendak dibuka mengalihkan atensi Joohyuk dan Mingyu. Joohyuk reflek berdiri tatkala mendapati Tuan Kim berdiri di sana.

"Aku akan keluar, nikmati waktumu."

Joohyuk berbisik pelan. Cukup mengerti bila kedatangan pamannya membutuhkan ruang privasi—hanya antara dia dan anak laki-lakinya. Joohyuk menyempatkan diri mengepalkan tangan sebatas bahu—sebagai apresiasi—sebelum beranjak pergi.

Kereta api || revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang