Suara gesekan dua besi terdengar menggaung di satu ruang. Itu suara pintu yang dikunci. Pemuda yang memiliki wajah sedingin salju dan sedatar papan seluncur itu lantas menghampiri meja belajarnya. Dia membuka laci kemudian mengambil sebuah bingkai foto di sana.
Wanita cantik sedang memeluk seorang bocah dengan senyum mengembang yang menjadi pemandangan di balik bingkai kayu tersebut. Mingyu menatap foto wanita itu datar. Kemudian ibu jarinya bergerak mengusap wajah wanita itu lembut. "Bogoshipda eomma," lirihnya.
Selang beberapa menit, suara ketukan pintu terdengar.
"Mingyu?"
Suara seorang wanita terdengar begitu lembut seiring dengan ketukannya yang teramat pelan.
"Makan dulu, ne? Appa dan eomma menunggumu di bawah."
Mingyu membuang napas kasar. Dia langsung bangkit dari kursinya hingga mencipatakan suara decitan yang keras. Dia berjalan cepat ke arah pintu lalu membukanya dengan kasar.
"Jangan campuri urusanku!" Mingyu berucap dengan tegas, seraya menatap tajam manik wanita yang kini sedang mendongak sambil menatap dirinya.
Wanita itu tampak terkejut. Sejenak, ia berhasil mengatasi gejolak hatinya. Kemudian ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam lara yang ia rasakan agar bisa bersikap lebih tenang untuk menghadapi Mingyu. "Eomma telah--"
"HENTIKAN!" bentak Mingyu keras. Urat-urat lehernya mulai mencuat keluar. Wajahnya terlihat begitu mengerikan sekarang."Sampai kapanpun aku tidak akan sudi memanggilmu dengan sebutan itu," lugas Mingyu.
Mingyu melihat siluet seorang pria yang sedang menaiki anak tangga dengan tergesa. Membuat tangannya langsung tergerak dan membanting pintu.
Brak!
Pria itu buru-buru mengahampiri kegaduhan itu. Kemudian ia mendapati dua aliran sungai yang menghiasi wajah manis sang istri langsung memeluknya dengan erat."Apa yang terjadi, hm?" bisik pria itu lembut. Sembari mengusap pucuk kepala sang istri.
"Tidak, aku merasa gagal kali ini. Seunghyun, dinding Mingyu begitu kokoh. Aku tidak akan mampu menembusnya," ujar wanita itu menahan isak tangis, seraya mendongak menatap manik kecokelatan milik sang suami lekat.
Seunghyun terdiam sejenak. Kemudian ia kembali meletakkan kepala sang istri pada dada bidangnya."Maafkan aku atas sikap Mingyu padamu," bisik Seunghyun."Aku mohon, Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku, Jiyong-ah ...."
○°•°○
Pemuda berambut ikal sedang membaringkan tubuh lelahnya di atas karpet tebal. Dia mendengus, seraya mendongak melihat wanita paruh baya yang sedang duduk di atas sofa sambil menyaksikan siaran televisi.
"Ya! Halmeonie, apa sekarang aku boleh makan?" Sang nenek lantas menanggapi ocehan Jisoo dengan sedikit meliriknya.
"Sudah kukatakan, sampai jarum pendek itu berhenti tepat pada angka lima," jawab sang nenek, sembari menunjuk jam dinding.
Jisoo terbelalak, tidak percaya dengan jawaban sang nenek. Bahkan sekarang jarum jam masih terdiam di angka tiga.
Sedangkan sejak pagi tadi dia belum mengisi perutnya sedikitpun kecuali hanya dengan segelas susu yang dia temukan di atas meja. Kini ia mengerti, selain kuat ternyata neneknya itu juga memiliki jiwa sekejam ibu tiri. Ayolah, Jisoo sering mendengarnya dari suara drama -yang bahkan dia sendiri tidak tahu apa judulnya- jika ibu tiri itu sangatlah kejam.Coret pembahasan tentang ibu tiri. Kembali ke perihal kekejaman neneknya. Jisoo diberi hukuman oleh sang nenek dengan membersihkan kotoran sapi yang sudah menimpuk dalam kandangnya. Ya, nenek Jisoo memang memiliki ternak sapi perah yang setiap minggunya bisa menghasilkan puluhan ember yang akan dikirim langsung ke pabrik susu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kereta api || revisi
RomanceBerawal dari sebuah gerbong kereta, hingga coat hangat yang ia terima dari pemuda berkulit tan itu dengan terpaksa. Pemberian yang terkesan 'sederhana', tetapi mampu menciptakan perasaan rumit yang tertinggal dalam hati pemuda berparas cantik itu. N...