Mingyu melajukan mobilnya membelah jalur kota, menerobos hujan di kala derasnya yang tak kunjung mereda. Bahkan suara mesin-mesin kendaraan saat ini teredam oleh hantaman rinainya.
Kedua obsidian Mingyu menatap lekat pada jalan yang mulai meremang, dilapisi air menggenang. Sementara wiper di kaca mobil bergerak gusar seperti jiwanya. Isi kepalanya dipenuhi oleh gambaran sang ayah yang mengelus lembut perut sang istri sementara binar di wajahnya sarat akan kebahagiaan yang begitu paripurna.
Jauh hari sebelum sang ayah memberikan kabar sakral kepada dirinya soal hubungannya dengan wanita itu yang akan menginjak jenjang lebih serius, jauh hari sebelum sang ayah menghabiskan waktu untuk berbulan madu dengan wanita itu, sementara dia menghamburkan dirinya ke pemakaman sang ibu, Mingyu sudah memerkirakan hari-hari setelahnya yang akan dia jalani bersama pengantin baru itu. Perkara-perkara yang menjenuhkan, dan memuakkan, hingga bagaimana caranya agar dia mengikis waktu sesedikit mungkin untuk pulang, atau mungkin hanya sekadar melelapkan malam.
Namun, bodohnya Mingyu tidak pernah memerkirakan jika wanita itu akan mengandung dan memiliki anak dari sang ayah, yang kemudian akan menjadi adik seayah dengannya. Tidak sedikitpun terlintas perkara itu di benak Mingyu sebelumnya, hingga dia berpikir, apakah akal sehatnya tidak bekerja dengan baik selama ini?
Suara klakson beruntun yang menjejal telinga menyadarkan Mingyu dari lamunannya. Lekas dia menancap gas begitu sadar lampu merah telah berubah warna. Kedua tangannya dengan kuat mencengkram kemudi, sementara angka yang menunjukkan kecepatan mobil kini naik dengan pesat. Rahang tegas Mingyu mengeras tersulut emosi, sorot mata penuh kebencian menjadi saksi apa yang dirasakannya malam itu.
Mingyu ingin melampiaskan amarahnya yang dirasa semakin sesak dan membuncah dalam dada. Bayangan bagaimana dia melayangkan tinjuan mentah pada sang ayah membuat deru napasnya kian menggebu dengan semangat. Dia memukul, membanting, hingga menginjak tubuh tanpa daya sang ayah membuat tangannya mengepal dengan kuat, ingin rasanya dia menggapai bayangan memuaskan itu sampai suara merdu sang ibu seolah berbisik di telingannya.
"Mingyu, kau tahu, kebencian hanya akan menjadi penyakit yang mematikan jiwamu."
Nyaris terlihat bayangan sang ibu yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit, menyentakkannya. Menggoyahkan seluruh saraf-sarafnya, hingga Mingyu kehilangan kendali tatkala sebuah truk besar melintas di depannya. Reflek Mingyu membanting stir ke arah kiri, keluar dari badan jalan hingga pohon besar menjadi pemandang terakhir sebelum semuanya menjadi gelap.
○°●°○
Pagi-pagi sekali Jisoo sudah menginjakkan kaki ke sekolah, bahkan matahari masih malu-malu mengintip di langit Seoul. Tidak ada satu orang pun dalam kelas selain dirinya. Tentu saja manusia mana yang mau menambah lebih banyak waktu dalam gedung yang teramat membosankan itu? Empat belas jam berada di sekolah cukup membuat otak mereka mendidih, tidak perlu menambah waktu lagi untuk datang lebih pagi.
Jisoo menghempaskan tubuhnya pada bangku, lantas merentangkan kedua tangannya ke udara. Pengalaman tidurnya semalam sangat buruk, dia tidak bisa terlelap dengan baik, bahkan sampai mentari muncul di ufuk timur.
Mengingat dirinya mudah terlelap saat pelajaran berlangsung, menginspirasi Jisoo untuk datang ke sekolah lebih cepat, demi menggantikan tidur malamnya yang berantakan itu. Kedua tangannya dilipat menjadi alas kepalanya, Jisoo memejamkan mata beharap kantuk segera datang dan menghilangkan pegal di sekujur tubuhnya. Tidak menunggu lama untuk Jisoo terlelap, cukup lama dia tenggelam dalam mimpi hingga sayup-sayup keributan mulai terdengar di sekitarnya. Jisoo membuka mata tatkala suara cakap-cakap semakin jelas didengarnya. Seperti yang dia duga seluruh murid tampaknya sudah menginjakkan kaki ke dalam kelas ini. Dia mendengus, kenapa waktu berlalu begitu cepat? Bahkan dia baru merasakan energinya terkumpul tiga puluh lima persen saja, tetapi kelas ini selalu terburu-buru dalam mengejar waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kereta api || revisi
RomanceBerawal dari sebuah gerbong kereta, hingga coat hangat yang ia terima dari pemuda berkulit tan itu dengan terpaksa. Pemberian yang terkesan 'sederhana', tetapi mampu menciptakan perasaan rumit yang tertinggal dalam hati pemuda berparas cantik itu. N...