12. Terancam

131 25 0
                                    


Jisoo mengambil tongkatnya. Seperti biasa, dia suka sekali saat malam datang dan gelapnya bisa dia sambut dalam kamar tidurnya. Di ujung sana gorden jendela menari-nari riuh bersama angin dingin yang menyelinap masuk. Hanya ada sinar bulan kebiruan yang menerpa ruangan luas itu.

Jisoo diam, tercenung, di daun jendela. Pandangannya tak menyiratkan apapun. Hingga pandangan itu turun melihat sebagian kakinya yang kini dibalut kain kasa.

Semuanya kembali berputar, seperti kincir angin yang enggan tuk berhenti. Wajah khawatir Mingyu saat kali pertama melihat kondisi kakinya yang mengeluarkan darah segar. Wajah datar Mingyu yang menemaninya di loby rumah sakit, hingga wajah dingin yang ditunjukkannya selama perjalanan pulang, memulai pertunjukan di dalam kepalanya.

Namun, kali ini Jisoo tidak merasakan kebencian yang menggebu-gebu seperti sebelumnya, bahkan menyeret nafsunya untuk mencabut nyawa siapapun yang berani mengusik kehidupnya. Namun, lebih mengerikan dari itu, lebih buruk. Dia tidak mengerti, ini buruk sekali. Mungkin ini yang dinamakan kegelisahan yang meresahkan kejiwaan manusia. Seperti tidak tahu apa yang perlu dilakukan dan tidak mengenal rasa yang dirasakan.

Jisoo menjambak rambutnya frustrasi. Kenapa dia harus bertemu manusia menggilakan seperti Mingyu? Kenapa apapun yang dia lakukan selalu menjadi bumerang? Mungkin sejak awal bertemu dengannya di kereta api adalah sebuah kutukan.

Esoknya bulan pun berpamitan dengan semesta, tetapi kegelisahan itu masih juga menerkam jiwanya. Seperti dirundung gangguan kejiwaan dia terus memikirkan bagaimana semua itu bisa terjadi. Seumur Jisoo menghirup udara di dunia, dia tidak pernah merasa ditekan oleh keberadaan seseorang, dan dia tidak terima itu terjadi padanya. Hingga hari beranjak sore dan dia mendapati Minjung mengunjunginya, masih lengkap dengan seragam sekolah.

Minjung dengan wajah berantakannya menyemburkan ribuan tanya yang membuat kepala Jisoo semakin pening dibuatnya. Seperti; kenapa kau tidak menghubungiku? Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa padaku? Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi?

Kemudian kemarahan dan umpatan meledak menjadi satu begitu Jisoo mengatakan kronologinya pada Minjung.

"Brengsek! Akan kuhabisi mereka!"

Jisoo menarik baju Minjung, begitu Minjung hendak melangkah pergi.

"Kau tidak lupa 'kan siapa mereka? Jangan bertindak gegabah kecuali kau ingin memberikan nyawamu," terang Jisoo pada Minjung.

"Sialan!" Kepalan tangan Minjung melayang, menghantam tembok di depannya dengan keras.

"Duduklah." Jisoo menawarkan tempat di sampingnya untuk Minjung.

Minjung lekas menatap Jisoo lekat-lekat."Apa terjadi sesuatu dengan otakmu, bocah?"

Jisoo tidak membalas, ekspresinya datar.
'Ya, karena sesuatu yang lebih buruk lagi menimpaku, tetapi aku tidak bisa mengatakannya padamu karena itu membuatku semakin terjerat dalam kegilaan.' Dia hanya bergumam dalam hati.

Minjung mendesah kasar. Dia menghempaskan bokongnya di samping Jisoo. Kemudian berkata,"Jika kau tidak membawa sepeser apapun, lalu siapa yang menolongmu?" Dia memikirkan sesuatu yang lain sekarang.

Jisoo tercekik pertanyaan. Pita suaranya seakan terjepit ketika dia ingin mengeluarkannya.

Minjung memicing melihat Jisoo yang tidak juga menjawab pertanyaannya."Siapa yang menolongmu, Jisoo?" tanyanya lagi.

Jisoo tersadar,"Hah? Apa itu penting? Hanya ahjumma yang kebetulan lewat. Kenapa kau penasaran dengan hal yang tidak penting?" Jisoo terkekeh, remeh. Dia menghilangkan kegugupannya dengan baik.

Kereta api || revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang