8. Mingyu dan peristiwa

123 20 1
                                    



Mingyu menggantungkan ranselnya. Kemudian melepas sepatu dan juga kaos kaki, tidak lupa meletakkannya pada semestinya. Kamar Mingyu sangat rapi, tidak ada satu benda pun yang terletak tak pada tempatnya. Semuanya berdiri pada posisinya masing-masing.

Beberapa menit kemudian suara pintu kamar mandi dibuka. Menampilkan sosok Mingyu dengan handuk yang meliliti pinggangnya. Dia tampak segar dan bugar. Bahkan dari rambutnya air masih bertetesan melewati wajah rupawannya. Lantas Mingyu menghampiri cermin panjang. Dari sana pupil legamnya turun ke bawah, memperhatikan satu titik. Lebam keunguan yang cukup lebar menghiasi pinggangnya. Tangannya memegang sebuah salep kecil, kemudian mengoleskannya di sana.

Dia jadi berpikir akan sekelompok preman yang tiba-tiba menghadang jalannya kala itu. Sudah dua hari yang lalu, tetapi dia baru memikirkannya sekarang. Jika itu hanya sebuah kebetulan, apakah itu mungkin? Melihat amarah yang pekat pada mata wanita itu, membuatnya berpikir, tidak. Mata itu menyiratkan kebencian pada dirinya, dan itu lebih terasa seperti dendam kesumat dibanding hanya kebetulan. Namun, Mingyu tidak merasa memiliki masalah dengan seseorang pun. Atau, apakah dirinya saja yang lupa?

Mingyu berusaha mengingat-ingat dengan siapa saja dia berbincang, dan dalam ingatannya hanya beberapa gelintir manusia saja, dan itu pun membicarakan hal yang penting. Misalkan seputar pelajaran atau kejadian penting yang semestinya dirundingkan.

Kejadian, kejadian. Otaknya terus berputar dalam suatu kejadian. Kemudian ingatan kala dirinya melayangkan tinjuan pada Jisoo hadir dengan tajam, lalh perkataan Taeyon yang menjelaskan panjang lebar tentang Jisoo membuatnya menyeringai kecil."Tentu saja dia," desisnya.

Mingyu mendapati sebuah kertas yang terlipat dengan rapi di atas meja belajarnya—begitu dia sudah berganti dengan pakaian santainya; kaos hitam, dan celana dengan panjang seperempat kaki. Matanya menyipit, kemudian lekas mengambil kertas kuning tersebut, dan membukanya.

Mingyu, appa dan eomma ada urusan bisnis mendadak di jepang. Mungkin sekitar setelah satu minggu kita baru bisa kembali ke Korea. Maaf, tidak sempat berpamitan denganmu. Oh, ya, eomma telah menyiapkan lima menu masakan dalam kulkas, kau bisa langsung menghangatkannya jika ingin.
Makanlah yang teratur, jaga kesehatanmu.

—Eomma

Mingyu meremat kertas itu kemudian melemparnya. Jika kau bertanya apa yang lebih keras dari batu, maka itu adalah ibu tirinya. Mingyu tidak habis pikir dengan karakter yang melekat pada wanita itu. Apakah itu karena dia terlalu bodoh atau krisis harga diri? Rendahan sekali. Mingyu menggelengkan kepala. Sekalipun di dunia ini hanya hidup satu wanita bernama Jaerim, dia tetap tidak akan memilihnya sebagai pasangan hidup.

Dia yakin hanya lelaki bodoh juga yang mencintai wanita itu, dan itu tidak lain adalah Kim Seunghyun. Mingyu terkekeh remeh, kemudian matanya kembali melirik kertas kuning yang kini menjadi sampah di kamarnya. Mingyu berjalan menghamipirinya dan memungutnya ke dalam sampah, sebelum ia menuruni anak tangga dengan santai.

Tidak elak, dirinya merasa lapar sekarang. Seharian di sekolah membuat isi perutnya cepat sekali terkuras. Dirinya membuka lemari pendingin, memastikan ocehan dalam kertas ibu tirinya. Bisa saja itu hanya bualan belaka. Namun, di dalam sana dia mendapati beberapa masakan tertata rapi dalam wadahnya masing-masing. Mingyu terdiam, tetapi hatinya tetap mengelak akan sesuatu. Tentu saja ini sudah kewajibannya.

●°○°●



Hari ini semua berjalan dengan lancar. Dia bersyukur sekali tidak ada ganggungan-gangguan yang biasa dilakukan penggemarnya atau pertengkaran yang sangat mengganggu penglihatannya. Mingyu menginjak pedel sepeda. Kemudian mengayuhnya dengan sedikit cepat, meninggalkan area sekolah.

Kereta api || revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang