1. Bertemu

418 40 21
                                    

-- Aku tidak tahu, jika hari itu adalah awal dimana kisahku yang sesungguhnya dimulai. --

------ SEOUL -----


Sore hari terlihat begitu gelap dan suram. Suara guntur pun menggelegar. Di atas sana para kilat sedang memborbardir langit dengan kekuatan yang dimilikinya. Seakan ia berteriak memperingati penduduk bumi. Bahwa ia sangat murka. Murka sekali pada segala tindak-tanduk kejahatan yang telah dilanggar darinya.

Suara dering telepon senantiasa bergetar. Menemani guntur dalam gerbong kereta yang sedang sepi penumpang. Meminta agar siapapun dapat mengangkat panggilan tersebut. Sebab lelaki yang mengenakan coat cokelat itu tampak tak acuh dan membiarkan suara dering itu terus bergumam.

Drrtt..

Panggilan ke tujuh tak membuatnya tetap diam mengabaikan. Tangannya dengan lincah menyambar benda persegi itu lalu mengangkatnya. Dia mendengus keras setelah mendengar suara melengking seorang wanita di seberang telepon sana.

"Mingyu? Dimana kau, nak?"

Tidak ada sesuatu yang sangat tepat untuk menggambarkan kekesalan yang dirasakannya saat ini. Bagaimana wanita itu bisa begitu keras kepala? Bermuka tebal sekali, bahkan dia tak punya malu terus menghubunginya tanpa ragu. Kurang berapa kokoh lagi dia harus membangun dinding antara dia dan wanita itu. Bahkan setitik senyum pun tak pernah ia berikan padanya. Lantas harus berperilaku seperti apa lagi dirinya agar wanita itu tak lagi mendekatinya. Haruskah ia melakukan tindakan kekerasan secara frontal padanya agar dia mengerti jika dirinya sangat membencinya?

Drap.

Drap.

Drap!

Suara derap kaki yang terdengar berantakan merebut atensinya. Ia mengarahkan pandangannya pada asal suara dan mendapati seorang gadis yang menciptakan sedikit kegaduhan itu sedang mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Kemudian gadis itu mengambil tempat duduk sebelum kedua mata elang itu menyipitkan mata.

Mengenaskan sekali. Kata itulah yang dia dapati setelah menyempatkan waktu untuk mengamati gadis itu sejenak.

Pakaiannya basah kuyup. Rambut pendeknya pun terlihat lepek. Tampak jelas jika dia telah berlari menerjang hujan di kala derasnya mengguyur seisi kota.

"Mingyu, Apa kau mendengarku?"

Mingyu berdecih, setelah menyadari via telepon masih tersambung. Dia pun segera menekan tombol merah, mematikannya. Kemudian dia melepas coat cokelat yang melapisi tubuh atletisnya. Lalu beranjak dan menghampiri gadis 'mengenaskan' yang kini mengganggu pikirannya.

○°●°○

Jisoo mengeratkan jaket hoodie sewarna langit mendung itu pada tubuh mungilnya. Meski ia tahu, jaket itu tak akan berhasil untuk menghangatkan tubuhnya walau sedikit saja. Yang dia rasakan justru dinginnya air yang menyerap di dalamnya.

Dia menunggu kereta api yang ditumpanginya, kapan akan segera melaju. Wajah murungnya yang diletakkan menghadap jendela begitu kontras dengan warna alam kali ini. Dia sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi, karena dingin semakin erat memeluknya. Tubuhnya sedikit menggigil bersamaan dengan kepulan asap yang keluar dari mulutnya.

Hingga tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang hangat jatuh di atas pangkuannya. Sontak dia memastikan benda apa itu. Kemudian suara bariton yang terdengar setelahnya reflek membuat Jisoo mengangkat kepala.

"Pakailah."

Jisoo terkejut bukan main. Pasalnya, lelaki menjulang dihadapannya kini sedang menawarkan sepotong pakaian. Ah tidak, lebih tepatnya dia memberikan coat besar miliknya. Jisoo mendadak gugup untuk memberi tanggapan. Dia tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya. Ayolah, semua orang tahu siapa dirinya. Anak orang kaya raya yang tidak butuh bantuan terlebih belas kasihan. Lalu, sekarang apa? Kenapa lelaki ini sampai menawarkan pakaian miliknya. Apa dia terlihat amat mengenaskan sekarang?

Kereta api || revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang