17. Ujung, usai kekhawatiran itu mencapai titik terjang

136 28 4
                                    

 

Jisoo hanya diam ketika wanita dengan sweater abu-abu duduk berhadapan dengannya.

Jisoo tidak mendapati Joohyuk di rumah sakit. Dia mencoba mengirim pesan, tetapi Joohyuk tidak membalasnya. Dia memutuskan untuk masuk sampai dia bertemu ibu Mingyu di lobi rumah sakit dan menyapa dirinya dengan ramah sebelum mengajaknya ke sebuah kantin tidak jauh dari sana.

"Sudah tiga hari, tetapi Mingyu masih belum memberikan tanda-tanda sedikitpun."

Wanita itu memulai percakapan, sementara Jisoo melihat perubahan ekspresi yang begitu drastis darinya. Wanita itu menundukkan kepala dengan tatapan kosong yang mengarah pada kesepuluh jemarinya yang saling berpangutan, seolah sedang mencari kekuatan di sana. Jisoo merasakan perasaannya sama tidak karuannya dengan wanita itu, tetapi dia tidak tahu apa yang harus diperbuat selain mendengar penuturan wanita itu kembali.

"Seperti sekejap, saya sampai lupa cara bertutur dengan baik. Mingyu baru saja menghabiskan makan malamnya, saya tidak tahu kalau dia keluar malam itu dan saya sedikitpun tidak menyangka karena di luar sedang hujan. Jika saya mengerti itu, tentu saja saya pasti akan melarangnya sekalipun dia menentang," ujar si wanita sendu.

Hati Jisoo seperti tersayat belati berkarat kala dapat ia bayangkan insiden kecelakaan Mingyu melintas di kepalanya. Kemudian tatapan matanya berhenti ketika mendapati wanita di hadapannya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Apa kau memiliki hubungan spesial dengan Mingyu?"

Jisoo kontan tersedak, minuman yang baru disesapnya seolah tergelak di tenggorokannya. Namun, respon terlebihan yang diberikan si wanita membuat Jisoo harus menenangkan diri. Kemudian Jisoo bernapas lega saat wanita itu akhirnya menyadari kesalahan pada ucapannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan kesalah pahaman itu, meski terlihat jelas dia mengenakan seragam laki-laki, tetapi orang-orang yang tidak begitu memerhatikan kerap kali menyangka dirinya adalah perempuan. Jika itu orang  lain yang mengatakan, Jisoo pasti sudah memberi tinjuan mentah di wajahnya, tetapi kali ini berbeda, jadi dia hanya pura-pura tersenyum menerima permintaan maaf dari wanita tersebut.

○°●°○

Jisoo menatap langit gelap di kamarnya. Ini sudah dini hari akan tetapi matanya jadi sulit terpejam semenjak tiga hari ini. Wajah pucat Mingyu yang terhalangi ventilator menghalau dalam kepalanya. Hari ini dia berhasil menatap wajah itu lebih lama, tanpa merasakan sesak napas seperti yang dia rasakan sebelumnya. Hanya saja detak jantungnya saat itu tidak berdetak secara normal, tetapi membeludak layaknya letusan kembang api yang menyakitkan jika menatap batasan ruang. Tidak ada sebait kata pun yang tersampaikan, sebab air mata selalu menerobos lebih cepat dari kata-katanya.

Jiwa Jisoo selayak tergeletak, dia merasakan hidupnya seperti orang bodoh sekarang, nyaris serupa orang yang kehilangan makna kehidupan.

Keesokan harinya Jisoo kembali mengunjungi Mingyu. Namun, dia tidak tahu bagaimana harus mengayunkan kedua tungkainya tatkala mendapati kondisi Mingyu yang tidak juga membaik. Mingyu terlihat begitu tenang dalam lelapnya, dan itu membuat Jisoo marah, dan teramat marah. Dokter bilang kalau keinginan dari diri pasien sendiri lah yang akan menentukan kapan dia ingin bangun dari komanya. Apa itu berarti Mingyu tidak ingin kembali dalam kehidupan normalnya, apa Mingyu ingin pergi meninggalkan kehidupannya?

Jisoo meremas telapak tangan lebar yang sedang digenggamnya. Mata bak kucing yang kini dilapisi kristal bening menatap lekat wajah damai Mingyu."Bukankah kau sangat membenci para berandal yang suka menghancurkan kedamaian? Bukankah kau mengatakan padaku kalau kau akan menghajar mereka jika mereka tidak juga berhenti menjadi pengacau kehidupan?" Sejenak, Jisoo membasahi tenggorakannya yang kian mengering sebelum kembali bersuara.

Kereta api || revisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang