D24

3.9K 484 47
                                    
















Dua hari berlalu sejak insiden dimana TaeHyung tak sadarkan diri, kini ia sudah kembali membuka kedua matanya menatap hamparan dunia.

Tapi sayang seribu kali sayang, mata hazel berlapis coklat madu nan indah itu tak terlihat berkilau. Ia cenderung redup bahkan nyaris tak bercahaya.
Si pemilik mata hazel hanya diam, menatap kosong pada lantai putih dimana kakinya ia biarkan berayun dari sebuah ranjang pesakitan berwarna putih polos pula. Tak ada warna lain selain putih, begitu polos juga suci tapi tak berarti sama sekali. Hampa. Ya. Itulah yang ia rasakan.


Bibirnya tertarik sedikit membentuk sebuah senyuman miris. Meratapi betapa malang dan sialnya nasib badan seolah memang begitulah takdir nasib buruk yang selalu dan akan selalu saja menimpanya.
Seakan ia di ciptakan dan di lahirkan hanya untuk merasakan apa itu kesakitan tiada henti.
Apa itu kebahagiaan? Bagaimanakah rasanya? Itu semua seolah sebuah sekelumit kata kata asing baginya....


Kini..., ia hanya sendiri. Ya, sendiri.
Dan begitulah nasibnya.

Hahhhh....

Helaan nafas panjang dan berat ia hempaskan pada udara tak berdosa. Matanya sedikit bergulir, jatuh pada sebuah nampan berisikan satu mangkuk bubur putih nan encer di padukan sedikit sayuran hijau kecil lengkap dengan sumpit serta segelas air putih di sana. Tak jauh dari nampan, tergeletak tiga butir pil dengan farian warna tapi dengan rasa tentu saja sama, pahit.
Pahit. Seperti jalan kisah hidupnya.




Cklek.



Tak berniat mendongak untuk mengetahui siapa tamunya, ia hanya tetap menunduk dengan segala pikiran keluh kesahnya pada sang lantai kaku.


" Masih utuh..., kenapa tak kau makan buburnya Tae..? "

Suara itu begitu lembut, seolah olah tengah mendendangkan lagu pengantar tidurnya. Tapi ia sedang enggan untuk menutup mata. Kenapa?
Karena... Pada nyatanya setiap kali ia membuka mata, kenyataan pahit akan selalu menghantuinya tanpa jeda. Seolah ia adalah si rentenir kurang ajar dengan gilanya memburu mangsa.




" Tidak. "
Satu kata ia lontarkan dengan susah payah. Mulutnya bahkan terasa sangat rapat untuk sekedar ia buka sedikit untuk mengeluarkan kata yang begitu sakit, tersangkut di tenggorokannya.



" Kenapa? Setidaknya makanlah agak sesuap dua suap untuk minum obatmu? "


" Biarkan. "



" Tae..... "

Sosok itu segera berdiri tepat di hadapannya, menarik salah satu tangan itu dan membawa dagu lancip untuk segera mendongak mentapnya.



" Bangunlah. "



" Jim..... "
Bisiknya pelan.


Park Jimin menghela nafas panjang, lalu tersenyum lembut.
" Tae.... Kim TaeHyung, sahabatku yang paling baik.... Maukah kau mendengarkan kalimat tak berguna dari sahabat jauh nan bodohmu ini? Agaknya.. Sekali saja...? "


Mereka berdua saling menatap, menyelami dalamnya tatapan masing masing nan begitu rumit jalan pikirannya.



" Kita mungkin memang tidak begitu dekat. Tapi...., setidaknya kau mau kan mendengarkan sedikit saran tak bermutu dariku? "



" A-apa....? "



Jimin kembali tersenyum lembut, mengangguk kecil lantas mengambil sadikit sisi kosong di samping Taehyung. Kini mereka duduk dengan bersisihan tanpa sedikitpun sekat sebagai pemisah. Mereka bisa di katakan layaknya adik kakak, sahabat atau bahkan antara dokter dan pasien yang tengah berkonsultasi atau mungkin tengah berbagi cerita?
Abaikan!


CtD_/KO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang