Lima Puluh Enam

5.6K 900 57
                                    

"Putus?"

Satu kata itu mengejutkan Vanilla yang hendak berjalan masuk ke dalam rumah. Tangannya memegang dada sembari menarik napas dan melihat kearah Jason yang bersandar pada pintu dengan kedua tangannya yang di silangkan.

Raut wajah Jason terlihat aneh. Datar dan seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Apalagi sejak cerita panjang lebar Vanilla tadi siang. Jason langsung berubah sikap menjadi tidak bersahabat.

Karena suasana hatinya yang campur aduk, Vanilla memutuskan untuk tidak menyahuti Jason dan berlalu begitu saja. Namun dengan sigap Jason menahan pergerakan Vanilla dengan memegang pergelangan adik angkatnya.

"Jawab gue!" ucapnya agak sedikit membentak.

"Apaan sih!" Vanilla menepiskan tangan Jason dan menatap Jason kesal. Vanilla tidak mau Jason menjadi sasaran karena suasana hatinya yang sedang tidak bagus.

"Lo diapain sama dia?"

"Gak di apa-apain. Gak usah lebay deh!"

Jason menggeretakkan giginya, lalu menghela napas kasar seolah sedang berusaha untuk tidak meledak. "Kenapa lo nangis?" tanya Jason lagi.

"Siapa yang nangis? Gue gak nangis."

"Jangan bohong Vanilla!"

"Lo kenapa sih?" Kali ini Vanilla yang bertanya karena ia bingung dengan perubahan sikap Jason.

Jason tidak menjawab. Ia malah mengalihkan pembicaraan, "kalau sampai dia---"

"Gue bukan anak kecil. Gue bisa urus masalah gue sendiri!" Vanilla memotong kalimat Jason begitu saja, lalu pergi dengan memalingkan wajah.

"Vanilla!"

Teriakan Jason tak di hiraukan Vanilla. Ia terus melangkah menaiki anak tangga menuju kamarnya di lantai dua. Seharusnya ini menjadi hari bahagia untuk Vanilla, tapi nyatanya ini menjadi hari dengan perasaan terburuk yang pernah Vanilla rasakan. Bahkan lebih buruk dari berhadapan dengan Soraya.

Vanilla menghela napas. Ia menyalakan lampu diantas dan memandangi cincin yang melingkar di jarinya. Senyum mengembang selama beberapa saat, sebelum tergantikan oleh pikiran negatif yang selalu bersarang di otak Vanilla.

Hanya satu pertanyaan Vanilla, apa kali ini Dava benar sudah memilih pilihan yang tepat? Atau mungkin hanya sebagai penenang agar Vanilla tidak terus menerus mendesak Dava untuk memberi kepastian.

Toh sekedar mengucapkan beberapa kalimat, itu sudah bisa di katakan sebagai kepastian. Ditambah dengan memberi cincin. Seolah Dava benar-benar telah mengikat Vanilla.

Yang Vanilla pikirkan adalah bagaimana Dava bisa memutuskan pilihannya disaat Dava belum menyelesaikan urusannya yang lain. Terlebih Dava masih terikat perjodohan dengan Soraya, wanita perfeksionis yang terobsesi pada Dava. Sejujurnya Vanilla tidak mau melanjutkan drama antara dirinya, Soraya dan juga Dava.

Yang di inginkan Vanilla hanyalah kebahagian kecil tanpa drama yang mengikut di belakang. Menurut Vanilla, hilang ingatan saja sudah menjadi drama terbesar dalam hidupnya.

Entah untuk ke berapa kalinya Vanilla menghela napas panjang. Vanilla melepaskan cincin yang ia pakai dan meletakkannya di atas meja begitu saja.

Sepertinya ia harus menyiram kepalanya dengan air dingin agar bisa kembali berpikir normal. Jadi Vanilla putuskan untuk mandi saat waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam.

Vanilla harap setelah itu, ia bisa tidur dengan nyenyang tanpa harus berpikir lebih banyak lagi.

*****

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang