Tujuh Belas

18.9K 2K 347
                                    

"Hai, Kak... Kakak gak mau makan ya? Nanti kalau gak makan, sakitnya tambah parah loh."

"Kak, kakak mau gak aku suapi?"

"Nanti kalau kakak mau makan, aku bakal gambarkan robot untuk kakak."

"Namaku, Arneysa."

"Kak Rian harus janji ya, Kakak harus sembuh. Nanti kalau Kak Rian sembuh, aku janji bakalan main sama kakak lagi. Dan kalau nanti sudah dewasa, aku mau sama kakak terus."

"Kakak percaya sama yang namanya takdir gak? Kalau aku percaya."

"Takdir yang mempertemukan aku dengan Kakak, maka takdir juga yang akan memisahkan. Aku yakin kalau sekarang, aku di takdir kan bersama Kakak."

Gadis kecil berambut pirang itu tersenyum dengan lesung pipinya yang mencuat. Senyum yang sama persis dan tidak berubah meski sudah bertahun-tahun lamanya.

Gadis yang Dava gendong menuju UKS saat tak sadarkan diri, gadis yang menangis sendirian di taman, gadis yang mencoba melompat pagar karena tidak ingin ada orang yang mengetahui bakat terpendamnya, gadis yang selalu tersenyum ketika bersama Dava, gadis ceroboh yang selalu menyembunyikan kesedihannya, gadis yang Dava rindukan.

Dava langsung membuka matanya dan mengusap setetes air mata yang jatuh tanpa ia sadari. Dadanya terasa sesak, apalagi mengingat perpisahannya dengan Vanilla di bandara beberapa waktu lalu. Bertahun-tahun menunggu, ternyata mereka berpisah sesingkat dan secepat itu, seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya.

Memang benar apa yang di katakan orang-orang, apa yang telah pergi jika kembali maka tidak akan sama lagi. Vanilla pergi, lalu kembali dan Dava berpikir semuanya bisa seperti semula, namun nyatanya semua terasa semakin sulit, apalagi mengetahui fakta bahwa mungkin Vanilla sama sekali tidak mengingat kenangan dengan dirinya. Sementara Dava masih mengingatnya dengan jelas, seakan kenangan itu menempel dan tidak bisa di hilangkan.

"Maaf," gumam Dava menjambak rambutnya dan terlihat sangat frustasi. Entah sampai kapan Dava harus tersiksa dengan perasaan yang seperti ini.

Dava ingin melupakan Vanilla dan mencoba memulai hidup baru seperti apa yang di katakan Vino. Namun hatinya tidak bisa berbohong. Ia tidak bisa begitu saja melupakan Vanilla meski sudah bertahun-tahun lamanya.

"Dav..." ketok seseorang di depan pintu membuat Dava mengarahkan pandangannya kearah pintu yang terkunci rapat.

Dava bangkit dan membuka pintu kamarnya dan membiarkan Elang, Reza serta Reza masuk ke dalam.

Sejak kemarin mereka menginap di hotel yang menjadi tempat di adakan nya pertunangan Vino hari ini. Acaranya mulai pukul tujuh malam nanti, dan sekarang masih pukul empat sore. Tadi Dava ketiduran setelah menyelesaikan tugas kantornya yang begitu menumpuk dan membuatnya sakit kepala.

"Gimana rasanya mau tunangan?" tanya Reza kepada Vino membuka percakapan di antara mereka berempat.

Vino mendengus, "little bit nervous," jawab Vino.

"Next gue sama Poppy," sahut Elang yang bersandar pada sofa. "Sorry ya kakak ipar, gue melangkahi lo, habisnya lo gak move on move on sih. Udah ada di depan mata, eh di tinggalin. Giliran di tinggalin beneran, dalam hati mohon-mohon biar cepat balik," ujar Elang sengaja memberikan sindiran kepada Dava.

Dava menanggapi sindiran tersenyum dengan tersenyum kecut. Dava tidak marah, Dava hanya merasa perkataan Elang tepat mengenai hatinya. Plin plan, labil, egois, itu semua memang sifat buruk Dava.

Karena mulai merasa canggung, Reza kembali membuka suara, "Lo yakin Vin, sama pilihan lo?" tanya Reza.

"Yakin lah," jawab Vino mantap. "Sebenarnya gue gak pengen tunangan secepat ini, karena gue juga gak bisa nikah dalam waktu dekat. Sandra masih punya kontrak kerja di Milan satu tahun lagi, dan sebelum kontraknya selesai, gak mungkin kan dia ninggalin pekerjaannya begitu aja. Mungkin satu atau dua tahun lagi baru nikah."

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang