Enam Puluh Dua

4.3K 539 47
                                    

"Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan."

Tut.

Dava membanting ponselnya karena sedari nomer yang ia hubungi tidak aktif. Berkali-kali Dava menelpon sejak dua hari yang lalu, namun yang mengangkat tetap operator telepon. Dava mengusap wajahnya gusar di pinggiran kasur. Pikirannya selalu tertuju pada Vanilla. Apakah gadisnya itu baik-baik saja?

Bahkan Dava belum meminta maaf atas perlakuannya yang membentak Vanilla di depan banyak orang. Dava percaya pada Vanilla, Vanilla tidak mungkin melakukan hal seperti yang ia lihat kemarin. Namun keadaan menyudutkan Vanilla sehingga Dava tidak bisa berbuat apa-apa. Ditambah dengan orangtua Soraya yang melihat jelas kejadian tersebut.

Dava memijat pelipisnya yang terasa nyut-nyutan. Ia akan terus gelisah bila tidak bertemu dengan Vanilla. Namun wanita itu menghilang begitu saja. Persis seperti beberapa waktu lalu, menghilang tanpa kabar. Dari tatapan Vanilla kemarin, Vanilla terlihat begitu kecewa karena Dava tidak mempercayainya.

"Rian..." panggilan disertai suara pintu yang terbuka membuat Dava mengangkat kepalanya. Ia melihat Ibunya melangkah masuk sembari tersenyum tipis. "Apa yang mengganggu pikiran anak Mama ini?" tanya Ibunya.

Dava hanya menggelengkan kepala. "Vanilla?" tebak Ibunya seratus persen benar. Firasat seorang Ibu kadang selalu benar. "Jangan hanya di pikirkan, selesaikan segera."

"Rian gak tahu dia dimana, Ma."

Ibunya memandang penuh pengertian sembari mengusap bahu anaknya. "Sesayang itu kamu sama dia?" tanya Ibunya membuat Dava kembali mendongak. "Mama percaya Vanilla gadis yang baik. Tapi apa yang terjadi kemarin, sama sekali tidak berpihak pada Vanilla. Mama gak bisa bantu apa-apa karena Mama tidak berani membantah Papamu." Dava tahu, sejak awal Ibunya selalu mendukung apapun keputusan yang Dava buat.

"Ayo, yang lain sudah menunggu di bawah."

Dava menghela napas pelan seraya berdiri dan mengekor di belakang Ibunya. Samar-samar ia mendengar gelak tawa dari ruang makan. Sesampainya disana, ia melihat keluarga Soraya duduk manis bersama Ayahnya di meja makan. Setelah apa yang terjadi, mereka setuju untuk mengadakan makan malam bersama sekaligus membahas kelanjutan perjodohan Dava dan Soraya.

Soraya tersenyum manis kearah Dava yang mengambil tepat persis di depannya. Yang di tatapan malah memutar bola mata kesal.

"Bagaimana jika acaranya kita adakan bulan depan?" sahut Ayah Soraya sukses membuat Dava tersedak makanan yang hendak di telannya. Semua mata langsung mengarah pada Dava, namun Dava mengabaikan tatapan itu.

"Apa gak terlalu cepat?" Ibu Dava ikut bersuara.

"Mereka sudah kenal sejak lama, dan ku pikir sudah cukup waktu untuk pengenalan mereka. Aku tidak mau mengambil resiko jika lebih lama lagi." Mendengar ucapan Ayahnya, Soraya tersenyum malu-malu.

Dasar licik! Batin Dava.

"Bagaimana Dava?" tanya Ayah Soraya di balas senyum terpaksa oleh Dava. Dava tersenyum pun karena Ayahnya melayangkan tatapan peringatan padanya.

Napsu makan Dava seketika itu juga hilang. Apalagi ketika mendengar Soraya yang sedang mencari muka di hadapan Ayahnya. Benar-benar wanita yang pandai berakting. Seharusnya Soraya mendapatkan penghargaan atas aktingnya itu.

"Oh iya, Dav, gimana kalau besok kita datang ke butik pilihan ku?" Soraya melayangkan pertanyaan padanya.

"Mau ngapain?"

"Kita mulai cari baju pengantin," jawab Soraya dengan senyum lebar yang membuat Dava seketika itu juga merinding. "Aku yakin kamu pasti suka dengan butik pilihanku."

Dava menghela napas. Ia ingin menyahuti Soraya dengan nada tak bersahabat, namun ia tidak bisa berkutik di depan Ayahnya. Dava harus menjaga sikap karena itu akan berpengaruh pula pada reputasi Ayahnya.

Jadi yang bisa dilakukan Dava hanyalah mengumbar senyum dan mengangguk pasrah. Persis seperti anjing peliharan yang patuh pada perintah majikannya. Kali ini Dava harus bersabar, ia hanya bisa mengikuti arusnya. Semakin Dava memberontak, ia akan semakin terjerat. Karena itu, untuk kali ini ia mengalah.

***

Seperti yang dikatakan Soraya tadi malam, siang ini mereka pergi ke sebuah butik pilihan Soraya. Dava tidak bertanya, dimana butik tersebut karena ia membiarkan Soraya yang menyetir. Selama perjalanan, Soraya tak henti-henti mengoceh tentang banyak hal yang membuat telinga Dava sakit. Tentang pernikahan mereka, rumah yang akan mereka tempati, bulan madu, dan banyak lagi. Jangankan bulan madu, menikah dengan Soraya saja sama sekali tidak pernah terlintas di pikiran Dava.

Soraya menghentikan mobil yang di kendarainya. Ia mengumbar senyum pada Dava yang terlihat terkejut. "Kenapa?" tanya Soraya pura-pura tidak tahu. "Ah, aku gak bilang kalau butik pilihan ku adalah butik milik mantan pacarmu. Lagi pula kamu gak bertanya kan?"

"Gak ada tempat lain?" sarkas Dava.

"Harus ku akui, mantanmu berbakat dan aku suka rancangannya. Sesuai dengan keinginanku. Jadi, untuk apa mencari butik yang lain jika sudah tertarik pada butik ini?" nada bicara Soraya terdengar seperti di buat-buat.

Dava tahu, Soraya sengaja memberikannya kejutan seperti ini. Dava akui, Soraya tipikal wanita yang sangat sulit di tebak jalan pemikirannya. Pantas saja jika Vanilla menjadi tak kendali seperti kemarin. Wanita di sebelah ini, pintar memancing emosi dengan mulut lincahnya.

Ketika masuk, lonceng diatas pintu berbunyi. Mereka langsung di sambut oleh dua orang karyawan yang menyapa seramah mungkin. Soraya memberitahu apa yang ingin ia cari dan dua orang karyawan itu mengarahkannya menuju sebuah ruangan disebelah mereka.

Mata Dava tak henti-hentinya meneliti setiap orang yang ada disekitarnya, namun yang ia cari tidak ada. Ia pun memutuskan untuk bertanya, "Mbak, Vanillanya ada?" tanya Dava.

"Oh, Bu Vanilla sedang cuti, Pak. Keluarganya masih dalam keadaan berduka."

"Siapa yang meninggal?"

"Kalau itu kami kurang tahu, Pak."

Dava bergumam pelan dan mengucapkan terima kasih. Ia duduk di sofa yang tersedia dan kembali mencoba untuk menghubungi Vanilla. Jawabannya tetap sama, nomer Vanilla tidak aktif. Dava menghela napas. Begitu banyak pertanyaan di benak Dava yang membuat laki-laki merasa hampir gila.

Saat mata terpejam, telinganya mendengar suara telpon. Awalnya Dava pikir itu dering ponsel miliknya, namun ketika di cek ternyata milik orang lain. Samar-samar ia mendengar suara Soraya yang seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Karena penasaran, Dava mendekat dan mencoba untuk menjamkan telinganya agar bisa mendengar pembicaraan Soraya.

"Saya sudah bilang jangan hubungi saya lagi!"

"Bayaran kamu sudah saya kirim, dan saya gak punya urusan apa-apa lagi dengan kalian."

"Itu bukan bagian dari perjanjian kita! Kalau salah satu dari kalian tertangkap, saya tidak ada sangkut pautnya. Mengerti!?"

Dava tidak tahu apa yang sedang Soraya bicarakan, entah mengapa Dava merasa ada sesuatu yang di sembunyikan oleh Soraya. Dava langsung tersadar ketika Soraya keluar dari ruang ganti dengan teriakan nyaring karena terkejut dengan sosok Dava yang berdiri di depannya.

"Da—Dava," ucap Soraya terbata-bata.

"Lo kenapa pucat gitu?" tanya Dava berakting agar Soraya tidak curiga.

Soraya menegang. Sedetik kemudian ia terkekeh pelan, "Aku kaget karena kamu tiba-tiba ada di depan gue." Jawabnya jelas berbohong.

Dava mengembangkan senyum sembari mengusap pelipis Soraya yang dialiri keringat. "Gak enak badan? Gimana kalau kita pulang aja?" ajak Dava membuat Soraya berulang kali mengedipkan mata tidak percaya.

"Soraya?" untuk pertama kalinya Dava memanggil nama Soraya.

"Eh, iya, ayo pulang. Kepala ku juga agak pusing."

Dava kembali tersenyum, ia langsung mempersilahkan Soraya berjalan di depan, sementara ia mengekor di belakang Soraya dengan raut wajah yang berubah menjadi datar.

***

Minggu, 07 Maret 2021

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang