Delapan

17.9K 2.4K 483
                                    

Mata Vanilla menatap lurus kearah sosok pria yang berdiri beberapa meter di depannya. Pria bermata hazel itu terlihat sedang frustasi dan mengacak-acak rambutnya. Vanilla menelan ludahnya sendiri, pesan yang baru saja ia terima ternyata benar, dan sekarang Vanilla bingung antara harus menemui pria itu atau malah mengabaikannya begitu saja.

Lima menit setelah berdebat dengan perasaan serta batinnya, Vanilla memutuskan untuk menemui pria itu. Dava, orang yang selama ini masih mengganggu pikirannya.

Suara derap langkah dari sepatu heels yang di kenakan Vanilla menggema. Vanilla yakin, Dava pasti mendengar suara langkahnya, tapi Dava tidak menoleh. Ia pun berhenti di jarak satu meter persis di belakang Dava. Sebelum menyapa, Vanilla terlebih dahulu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya seraya meyakinkan diri bahwa ia siap bertemu dengan pria dari masa lalunya itu.

"Hai, Dav. Apa kabar? Masih dengan perasaan yang sama atau sekedar masa lalu yang tak terlupa?" ucap Vanilla mengalir begitu saja dari mulutnya.

Tubuh Dava menegang, begitupun Elang yang langsung kehilangan kata-kata di samping Dava. Dava langsung menoleh dan matanya bertabrakan dengan seorang wanita yang berdiri tegak kurang dari satu meter di hadapan Dava. Wanita itu mencoba tersenyum, meski ada sedikit rasa canggung di antara mereka, sementara Dava masih terdiam karena bingung hendak merespon apa.

Benar, wanita itu yang Dava cari. Wanita yang selama ini pergi tanpa ada kabar sedikitpun. Sekarang, wanita itu berdiri di hadapannya dengan raut wajah yang menandakan semua baik-baik saja, seolah tidak pernah ada yang terjadi di antara mereka. Wanita itu, terlihat semakin dewasa dengan kulit putih dan rambut coklat serat iris mata yang selalu membuat Dava terpesona.

"Vanilla?" kalimat itu datang dari mulut Elang yang sama terkejutnya seperti Dava. Elang bahkan sampai mengucek berulang kali kedua matanya untuk memastikan bahwa wanita di hadapan mereka adalah Vanilla. "Jadi, lo selama ini--"

Vanilla tertawa, "gue ada urusan sebentar disini," jawabnya.

"Dan sekarang harus pergi lagi?" Dava menimpali membuat Vanilla menghilangkan senyum di wajahnya. Dari nada suara Dava, terdengar jelas bahwa pria itu sedikit kecewa atas kehadirann Vanilla.

Setelah beberapa lama bungkam, Vanilla maju satu langkah ke hadapan Dava. Mencoba meneliti setiap struktur wajah tampan di hadapannya, terutama iris hazel yang selalu Vanilla ingat. Dalam hati Vanilla merapalkan doa agar pria itu memeluk dirinya dan mengatakan untuk jangan pergi serta tetap tinggal di sisinya. Mungkin jika kata-kata itu keluar dari mulut Dava, Vanilla akan berpikir dua kali untuk kembali ke Paris, atau bahkan memutuskan untuk tetap di Indonesia.

"Seharusnya gue tahu, lo akan terus lari dari gue meski gue minta lo untuk tetap di sisi gue." Dava berbicara dengan begitu kecewa, sedangkan Vanilla berusaha semaksimal mungkin untuk terlihat biasa saja.

"Bahagia lo bukan sama gue, Dav."

"Tapi bahagia lo, ada di gue," ujar Dava persis sesuai apa yang baru saja Vanilla katakan di dalam hati.

Vanilla tersenyum getir, "karena kebahagiaan terbesar gue adalah lo, Dav. Tapi karena gue juga, gue harus lupa sama semua yang pernah terjadi antara 'kita'. Maaf, karena seharusnya gue gak membangkitkan kenangan di memori lo yang udah lo simpan sedalam mungkin supaya lo gak terus-terusan ingat sama gue. Dan seharusnya-- gue gak kembali."

"Tapi lo, kembali. Kenapa lo kembali kalau pada akhirnya lo akan pergi lagi?" Pertanyaan tersebut membungkam mulut Vanilla.

Vanilla diam dan menunduk, berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya. Vanilla kembali untuk mencari kepingan masa lalunya yang sampai detik ini belum bisa ia ingat. Vanilla kembali untuk mencari di mana tempat yang bisa membuatnya merasa bahagia. Vanilla kembali karena ingin bertemu dengan pria yang selama ini mengganggu pikirannya. Vanilla kembali karena ia ingin semua baik-baik saja.

"Gue--" Vanilla menggantungkan perkataannya, ia tidak tahu harus berkata apa.

Vanilla pun memeluk Dava seerat mungkin, menghirup aroma tubuh Dava yang sedikit membuatnya tenang. Vanilla merindukan pria di pelukannya ini. Andai saja Vanilla bisa ingat setiap hal kecil dari ingatannya bersama Dava, Vanilla pasti akan lebih merasa bahagia. Tapi sekarang malah terasa hampa.

"Untuk apa lo cari gue kalau pada akhirnya lo hanya menganggap gue sebagai bagian masa lalu yang gak seharusnya di ungkit lagi?" bisik Vanilla dengan suara bergetar, menandakan bahwa ia sedang mencoba menahan tangisannya.

Kali ini giliran Dava yang diam. Dava tidak merespon apa-apa, ia hanya diam bagaikan patung yang tidak bisa bergerak ataupun merasakan apa-apa, bahkan Dava sama sekali tidak membalas pelukan Vanilla yang semakin erat memeluk tubuhnya. Tangan Dava seolah kaku dan tidak bisa di gerakkan, lidahnya keluh, dadanya pun terasa begitu sesak.

"Gue--"

Vanilla melepaskan pelukannya dan mundur beberapa langkah.

"Gue cuma mau ngucapin selamat tinggal," ucap Dava sukses menjatuhkan satu bulir air mata di pipi Vanilla. "Kita bertemu dengan cara yang baik, jadi gue rasa, kita berpisah harus dengan cara yang baik juga."

"You gotta be kidding me, Dav?" timpal Elang yang ikut terkejut mendengar kalimat yang di ucapkan Dava.

Dava mengulas senyum, "untuk masa lalu, mungkin gue adalah kebahagian terbesar dalam hidup lo, tapi untuk sekarang-- gue rasa orang lain lebih pantas dapatin itu semua."

"Dav!" lagi-lagi Elang menyahut, kali ini dengan nada setengah membentak. "Lo belum tanya apa alasan Vanilla pergi, kenapa lo memutuskan secara sepihak gini?"

Vanilla menghapus airmatanya dan tertawa, "ah iya, bentar lagi gue harus masuk ke pesawat," sahutnya mengalihkan pembicaraan. Vanilla menghela napas, mencoba mengatur kembali pernapasannya yang sedikit bermasalah.

"Untuk masa lalu yang gak bisa gue ingat?" Vanilla mengulurkan tangannya ke hadapan Dava seraya tersenyum.

Dava melirik uluran tangan Vanilla namun Dava sama sekali tidak berniat untuk menjabatnya. Dava malah menatap Vanilla datar lalu setelah itu ia membalikkan badan dan pergi begitu saja tanpa memperdulikan Vanilla.

Hati Vanilla kembali melongos. Air mata yang seharusnya sudah berhenti, kini mengalir kembali seiring dengan perginya Dava dan teriakan Elang yang mencoba menyusul Dava. Ternyata Vanilla salah karena sudah berharap Dava akan menahannya disini. Pada kenyataannya, Vanilla hanyalah bagian dari masa lalu Dava yang tidak perlu Dava ingat-ingat lagi.

Dan kali ini, Bukan Vanilla yang meninggalkan Dava untuk ketiga kalinya, melainkan Dava yang kembali meninggalkan Vanilla dan membuat wanita itu terpenjara di dalam kesendiriannya.

*****

Sebenarnya mau update hari rabu nanti, tapi tangan ku gatal banget pengen publish part ini, mwehehe.

I think this part is gonna be the end of story of Dava and Vanilla. What do you think guys? Should i continue their story or end up on this part?

Jum'at, 20 Desember 2019

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang