Tiga Puluh Empat

15.5K 2.1K 276
                                    

"I'm home..." ujar Vanilla ketika ia masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Dava sedang berkutat dengan laptop di hadapannya.

Dava terlihat sangat serius bahkan sampai tidak mendengar Vanilla yang saat ini berdiri di belakangnya. Ada puluhan email yang Vanilla lihat dan semua email tersebut adalah pekerjaan Dava.

Maklum saja, Dava tiba-tiba membatalkan seluruh perjalanan bisnisnya demi menemani Vanilla. Dava juga tidak memberitahu keberangkatannya kepada sekretarisnya. Pertama karena Dava tidak ingin Soraya mengetahui keberadaannya, kedua Dava tidak ingin di teror oleh Soraya ketika ia sedang bersama Vanilla.

Dava terkejut ketika seseorang mengalungkan tangannya ke leher Dava. "Hey.." sapa Vanilla meletakan dagunya di bahu Dava. Dava menoleh dan melemparkan senyum kepada Vanilla.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Dava bangkit dan berjalan menuju kulkas, mengambil sekaleng coke dan meneguknya. Sementara Vanilla menggantikan posisi Dava dan melihat-lihat isi email Dava.

"Dav, handphone Lo kemana?" tanya Vanilla setelah ia melihat email dari Soraya di kotak masuk Dava. Dava hanya mengangkat kedua bahunya seraya asik menikmati coke yang ia minum.

"Dav, gue nanya..." ujar Vanilla agak kesal karena Dava tidak menjawabnya.

Dava meletakkan kaleng minumannya dan berjalan menghampiri Vanilla. "Ada di kamar, kenapa?" Dava balik bertanya.

"Aktif?"

Dava menggelengkan kepalanya.

"Kenapa gak di charger?"

"Baterainya full kok."

"Terus, kenapa gak aktif?"

Dava menarik napas dan menghembuskannya. "Karena gue gak mau ada yang ganggu waktu gue bersama lo. Terutama..." Dava menunjuk nama Soraya di layar laptopnya, "dia."

"Kenapa?" tanya Vanilla lagi.

"Lo gak cemburu kalau dia telponin gue Mulu disaat gue lagi sama Lo?"

Vanilla langsung menggelengkan kepala. "Gimana pun juga, dia itu sekretaris Lo di kantor, Dav. Lagian Lo kan gak setiap saat buka email. Kalau ada kepentingan yang mendesak gimana?"

Dava menutup laptop di hadapan Vanilla dan memajukan wajahnya hingga tersisa beberapa senti. "Gue gak peduli, Vanilla."

Berulang kali Vanilla mengerjapkan mata, seraya mengontrol detak jantungnya yang tidak beraturan. Jika terus seperti ini, Vanilla bisa terkena serangan jantung karena terlalu senang.

Melihat ekspresi Vanilla yang menegang, Dava langsung tertawa seraya mengecup pipi Vanilla, "yaudah gue mau mandi dulu," ujarnya berlalu dari hadapan Vanilla.

Sepeninggalan Dava, Vanilla langsung menghela napas lega. Ia menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangan dan berteriak dalam hati. Tangan kiri memegang dada, berusaha merasakan detak jantungnya yang memang berpacu begitu cepat. Baru beberapa hari bersama Dava sudah membuat jantungnya jadi tidak normal, bagaimana ke depannya nanti?

"Sayang... Ambilkan handuk dong," teriak Dava dari kamar mandi membuat Vanilla langsung menoleh kearah kamarnya.

Kata-kata yang tidak pernah Vanilla dengar bertahun-tahun lamanya, akhirnya Vanilla bisa mendengar kata itu lagi. Andai tidak ada kejadian buruk di masa lalunya, apa mungkin Vanilla sudah hidup bahagia bersama Dava sekarang? atau malah mengubur dalam-dalam mimpi indah itu.

Tanpa sadar Vanilla tersenyum dan bergegas meletakkan handuk di depan pintu kamar mandi, lalu kembali ke luar dan berakhir dengan rebahan di sofa. Karena urusannya hari ini sudah selesai, Vanilla mulai berpikir untuk mengajak Dava dinner malam ini. Vanilla tidak sabar untuk bernostalgia dengan masa lalunya, meski tidak semua di ingat oleh Vanilla.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang