Lima Puluh Tujuh

5.7K 832 124
                                    

"Lo kenapa lagi sama Vanilla?"

Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Dava sejak setengah jam yang lalu. Vino duduk di sofa ruang kerja Dava sembari memperhatikan tablet yang di pegangnya. Karena perusahaan mereka bekerja sama, jadi Vino sering numpang wifi di kantor Dava.

"Gue ngelamar Vanilla secara personal," ujar Dava memberitahu apa yang sedang mengganggu pikirannya sekarang.

"Bagus dong."

Dava menganggukkan kepala, namun masih ada sedikit keraguan dalam benak Dava. Apalagi ketika mengingat ekspresi Vanilla yang sama sekali tidak bahagia ketika ia meminta wanita itu untuk menikah dengannya.

"Vin," Dava menatap Vino dengan serius. "Lo yakin Vanilla masih punya perasaan yang sama ke gue?" tanya nya meminta pendapat.

"Lah, mana gue tahu. Memangnya gue cenayang bisa tahu isi pikiran dan perasaan dia gimana." Ucapnya sama sekali tidak membantu.

Dava menghela napas panjang. Sejak Dava menyatakan bahwa ia akan menikahi Vanilla, sejak saat itu pula pikirannya di ganggu dengan hal-hal yang tidak pernah Dava pikirkan sebelumnya. Sampai-sampai Dava mengkhawatirkan Ziko yang belakangan dekat dengan Vanilla. Dava takut jika ternyata Vanilla berpaling dan memiliki perasaan pada Ziko. Ditambah lagi dengan fakta bahwa mereka dekat sejak Vanilla sadar dari komanya.

"Tahun baruan di Bali yuk!" celetuk Vino tiba-tiba langsung membuat Dava menoleh dengan alis yang di kerutkan.

Vino menghela napas. "Si Sandra ngidamnya aneh-aneh. Masa pengen pakai bikini di kuta." Dava antara ingin tertawa namun sedang menjaga imagenya. Jadi ia hanya berdeham dan membungkam bibirnya serapat mungkin.

"Dari kemarin kepala gue sakit banget di omelin sama dia pakai bahasa mandarin. Eh pas gue balas pake bahasa jawa, dianya malah ngamuk."

"Memangnya lo balas gimana?" tanya Dava.

"Jancok koe."

"BHUAHAHAHA.."

Dava langsung melepaskan tawa yang sedari tadi ia coba tahan. Apalagi tampang polos Vino yang terlihat seperti tidak ada dosanya. 

Melihat Dava yang tertawa, Vino menggaruk kepalanya. "Gue di ajarin Elang," ujarnya lagi.

"Bego amat sih lo!" Dava masih tak bisa menghilangkan tawanya yang semakin menjadi-jadi.

Vino kembali menghela napas dengan tampangnya yang lesu, tidak bersemangat. Tak lama kemudian terdengar suara rusuh dari luar ruang kerja Dava. Siapa lagi kalau bukan Elang yang sekarang memunculkan kepalanya dari balik pintu seraya tersenyum lebar seperti sedang mengikuti casting untuk pemilihan duta pasta gigi.

"Eh, ada Bang Nono..." cengirnya.

Melihat tampang Elang membangkitkan emosi Vino. Vino langsung melempar Elang dengan bantal sofa yang sedari tadi di pegangnya. Karena tidak kena, Elang menjulurkan lidahnya, membuat Vino mendengus kesal.

"So, kita jadikan ke Bali?" ujar Elang mendaratkan pantatnya di sebelah Vino.

"Kok lo tahu?"

Elang hanya menautkan kedua alisnya naik turun.

"Oh, jadi lo yang ngesahut Sandra?" ucap Vino seketika sadar. Di balas cengiran dan juga tangan yang membentuk simbol damai.

"Sorry guys, tapi gue banyak kerjaan." Dava menolak, otomatis mendapat tatapan tajam dari Elang dan Vino.

"Gak asik banget si lo, Dav!"

"Lagian Reza juga gak bisa kan?" ujar Dava lagi mencoba mencari pembelaan agar tidak di pojokkan.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang