Enam

20.1K 2.4K 230
                                    

Dava melepas jas yang di pakainya, lalu melonggarkan dasi yang terasa begitu mencekik. Ia pun duduk di pinggiran kasur, seraya melepas jam tangan dan menaikkan kedua lengan kemejanya hingga sebatas siku. Berulang kali ia menghela napas, seolah ada sesuatu yang membuat dirinya susah bernapas. Semenjak Vino dan Elang kembali membicarakan Vanilla, Dava tidak fokus bekerja. Bahkan Dava hampir saja kehilangan kliennya hari ini.

Matanya sempat melirik jam sebelum memutuskan untuk duduk di meja kerjanya. Ia membuka laptop yang tersimpan rapih di atas sana dan mulai mengecek satu persatu email pribadinya. Jujur, Dava lebih suka bekerja di lapangan ketimbang harus bekerja di kantor seperti sekarang. Namun takdir menyuruhnya untuk meneruskan bisnis keluarga yang sudah di bangun bahkan sejak kedua orangtuanya belum menikah. Dava tidak bisa membantah, toh Dava tahu ini semua demi kebaikan dirinya dan juga keluarga besarnya.

Tok...tok...

Suara ketukan itu tak mengusik Dava, hingga seorang gadis berusia dua puluh tahun masuk dengan wajah cemberutnya.

"Berantem lagi sama Elang?" tanya Dava tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

Poppy tidak menjawab, ia hanya mendengus dan memutuskan untuk berbaring di kasur kesayangan Dava. "Dia kemana sih?" tanya Poppy setelah berdebat dengan hatinya.

"Sibuk kerja, Poppy."

Poppy berdecak, "giliran sama lo, Kak, dia punya waktu, giliran sama gue, gak ada waktu. Sebenarnya dia niat serius gak sih sama gue!?"

Mendengar kalimat itu membuat Dava langsung menatap adik semata wayangnya, "kalau dia gak serius sama lo, kenapa dia masih bertahan sampai sekarang? Berapa tahun coba?  Sepuluh tahun. Lo juga harus hargai kerjaan dia, Pop. Elang itu gak cuma harus perhatiin lo, dia harus perhatiin pendidikan dia di Aussie sana, dia harus perhatiin kerjaan dia disini, dan itu gak mudah. You're not a baby girl anymore, okey?"

"Iyadeh, iya," jawab Poppy pasrah. "Engg.. tapi dia disini masih lama kan?" tanya Poppy lagi.

Dava tertawa melihat tingkah Poppy yang cuek namun ingin tahu. Meski di luar Poppy terlihat mengabaikan Elang, tapi sebenarnya Poppy menyayangi Elang. Walaupun Elang memang sedikit childish dan memalukan, tapi Elang tahu betul bagaimana cara memperlakukan Poppy. Tidak seperti dirinya yang tidak tahu bagaimana memperlakukan orang yang ia sayangi sebagaimana mestinya, dan itu sempat menjadi penyesalan terbesar Dava.

Ketika Dava baru hendak menjawab pertanyaan Poppy, Poppy terlonjak kaget dengan matanya yang membelalak dan seketika itu juga kegirangan. Dava tahu, Poppy pasti mendapat telpon dari Elang. Tidak pernah Dava lihat Poppy sebahagia itu.

Poppy langsung berdeham, berusaha menetralkan suaranya, "hallo?" ucapnya menjawab panggilan dari Elang.

"Hi sayang, maaf aku telat ngabarin, aku baru aja selesai meeting sama klien aku." Balas Elang di ujung telpon sana yang sengaja di loudspeaker oleh Poppy. Entah apa tujuannya, Dava tidak tahu.

"Iya, gakpapa."

"Are you mad at me, baby?"

"Enggak kok," jawab Poppy berbohong.

"Cie, gak marah tapi kangen kan?"

"Mimpi lo ketinggian!" balas Poppy padahal wajahnya saat ini sedang bersemu merah menahan malu.

Dava hanya menggelengkan kepala dengan mata dan jarinya yang fokus ke laptop dan telinganya yang fokus mendengar obrolan Elang bersama sang adik.

"Aku minta maaf ya karena telat ngabarin kamu. Aku di jalan nih, mau ke rumah kamu, mau ngajakin kamu dinner di luar. Siap-siap gih, lima belas menit lagi aku sampai." Saat itu juga Poppy langsung kalang kabut dan berlari keluar dari kamar Dava sembari membanting pintunya.

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang